Minggu, 12 September 2010

UPAYA MENGATASI STIGMA PECANDU DI MASYARAKAT)



1. PENDAHULUAN.

Latar belakang permasalahan. Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba telah menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat di negeri ini. Berawal dari dijadikannya sebagai tempat transit dalam mata rantai perdagangan gelap narkoba. Dalam perkembangannya Indonesia kini telah dijadikan tempat pemasaran, produksi dan eksportir gelap Narkoba, yang dilakukan oleh mafia Narkoba. Dengan jaringan yang didukung peralatan canggih.
Lebih memprihatinkan lagi adanya produsen yang melibatkan masyarakat yang terlilit kemiskinan. Sejumlah perempuan sebagai kurir peredaran gelap Narkoba, dengan modus operandi sebagai isteri kontrak oleh bandar Narkoba. Kondisi ini lambat laun akan merongrong eksistensi peradaban bangsa ini. Berdasarkan karakteristiknya kejahatan Narkoba ini telah mengancam ketahanan dan keamanan nasional. Bisnis ini telah menyeret semua bangsa ke berbagai persoalan kehidupan seperti sosial, ekonomi dan keamanan nasional.
Fenomena di atas mengindikasikan kejahatan Narkoba memanfaatkan kondisi kemiskinan dan kebodohan bangsa ini. Mudah dieksploitasi oleh pihak-pihak mafia. Membuat mudahnya masyarakat tergoda untuk menjajakan barang haram. Mudah terjerumus mencari jalan pintas, tak peduli terhadap pelanggaran hukum yang akan menyeretnya ke dunia kelam.
Disadari bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba dapat menimbulkan dampak negatif yang begitu luas di berbagai lini kehidupan. Baik kesejahteraan, perekonomian, sosial, politik, dan keamanan. Untuk itu kebijakan pemerintah dengan membangun institusi BNN, sangat relevan. Di sinilah letak tantangan bangsa beradab untuk memberantas Narkoba .
Korban kejahatan ini cenderung bersifat massal. Karakteristik kejahatan terhadap kepentingan publik menimbulkan daya rusak dahsyat. Kejahatan yang nyata-nyata merugikan Negara. Terlebih ketika komponen bangsa goyah integritasnya dan semakin tak berdaya menanggulangi dan merehablitasinya.
Menurut estimasi yang terjadi di dunia ini jumlah penyalahguna Narkoba dunia sebesar 5 % dari populasi penduduk dunia (kurang lebih 200 juta jiwa) dengan perincian) ; pertama, penyalahguna ganja 162,4 juta jiwa, kedua, Amphetamin Tipe Stimulant (ATS) yang terdiri Shabu, ekstasi dan amphetamine. 35 juta jiwa (terdiri dari shabu 25 juta jiwa dan ekstasi 10 juta jiwa), ketiga, kokain 13,4 juta jiwa, keempat, opiate 15,9 juta jiwa. UNODC (United Nation Office on Drug and Crime ) juga mengungkap bahwa estimasi jumlah perokok di dunia sebesar 28 % dari total populasi penduduk dunia. Peningkatan jumlah penyalahguna Narkoba akan meningkat.)
Bahaya Narkoba secara nasional sudah sangat memprihatinkan,) jumlah pemakai Narkoba pada tahun 1998 adalah 1,3 juta orang dan tahun 2001 menjadi 4 juta orang atau (2% dari jumlah penduduk). Dalam kurun waktu 3 tahun pemakai Narkoba meningkat 300%. Dari jumlah pemakai tersebut 80-90% adalah pada usia produktif yaitu 15-25 tahun. Sedangkan data BNN tahun 2008, jumlah kasus Kejahatan Narkoba pada periode berjalan, dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) tercatat sebesar 85.596 kasus dengan angka peningkatan rata-rata 22,3% per tahun. Sedang jumlah tersangka yang ditangkap dalam kurun waktu tersebut sebanyak 135.278 orang dengan rata-rata peningkatan per tahun sebesar 25,6% dimana sekitar 76,5 % pelaku termasuk golongan usia produktif (16-40 tahun).
Berdasarkan barang bukti Narkoba yang berhasil disita, dalam periode berjalan 2005-2008, antara lain : Jenis Narkotika, daun Ganja 206.927.300,1 gram, Pohon Ganja 3.633.761 batang, Hashish 5.761,4 gram, Heroin 65.638 kg, Kokain 2.902 gram. Jenis Psikotropika , Ekstasi 2.988.498 tablet, Shabu 3.370.660,7 gram, dan Daftar G 11.800.972 tablet.
Salah satu masalah terbesar dari penyalahgunaan Narkoba adalah penyebaran penyakit seperti : Hepatitis A, Hepatitis B, virus HIV/AIDS dan penyakit lainnya. Penyebaran penyakit itu dewasa ini secara luas dan cepat oleh adanya penggunaan Narkoba suntik tidak steril (intervena drug user’s—IDU’s). Terjadi epidemi ganda Narkoba dan HIV/AIDS.
Kejahatan Narkoba telah menjadi lahan bisnis sindikat dunia dan tak terpisahkan dari kejahatan internasional. Para pelaku seakan tak mengalami efek jera. Secara keseluruhan jumlah terpidana mati kasus Narkoba di Indonesia adalah 72 orang yang divonis oleh berbagai Pengadilan Negeri (PN). )
Seperti perdagangan obat-obatan terlarang (drugs trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan manusia (trafficking in persons), dan sejenisnya. Perdagangan gelap Narkoba merupakan primadona bisnis kejahatan lintas batas Negara (transnationalcrime).
Konvensi PBB) , telah mengamanatkan tentang pembentukan The International Narcotic Control Board. Badan yang bertugas membatasi kegiatan produksi, distribusi, manufaktur dan penggunaan obat bius kecuali untuk keperluan di bidang pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Negara-negara anggota PBB mendukung kebijakan tersebut menitikberatkan pada sistem kontrol yang lebih ketat terhadap perdagangan obat-obat kimia dan farmasi.)
Sedangkan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988 merupakan titik puncak untuk memberantas pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotik dan psikotropika. Setiap Negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut wajib melakukan kriminalisasi pencucian uang melalui peraturan perundang-undangan. Kenyataannya barang haram tetap saja beredar dengan cepat dan semakin meluas.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2002, BNN menjadi ujung tombak pencegahan dan pemberantasan Narkoba di Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh lembaga ini, masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Penyebarannya telah sampai pada batas-batas yang mengkhawatirkan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.
Negeri ini kini bukan lagi sebagai transit, tetapi sasaran pemasaran, dan tempat produksi Narkoba oleh jaringan sindikat internasional.) Secara empirik, para penyalahguna Narkoba akan mengalami penyimpangan perilaku. Mulai dari instabilitas emosi, ketagihan, sakaw, tak mampu mengendalikan diri. Semakin tak mampu berpikir kritis, dan hidup disiplin. Over dosis dan kematian menjadi ancamannya. Perilaku mereka tertuju kepada pemenuhan Narkoba, dengan berbagai cara. Demi mendapatkan narkoba, tak jarang mereka mencuri, menjambret, menodong, merampok, bahkan menjual dirinya. Desakan inilah yang berdampak pada kriminalitas.
Perubahan perilaku pecandu dapat diindikasikan anak yang rajin sekolah dan berprestasi berubah menjadi pembolos dan penurunan kemampuan akademisnya. Dari penurut menjadi pemberontak, jujur menjadi pembohong, hemat uang menjadi pemboros dan seterusnya. Ujung-ujngnya akan menggerus karakter manusia. Menurut Colondam, penyebab kecenderungan pribadi yang membuat menjadi pecandu adalah, ikut-ikutan, dorongan diterima teman sebaya, sulit menolak ajakan teman, dan ingin tampil lebih keren. Mereka akan semakin menjauh dari nilai-nilai kejujuran, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, kehormatan serta martabat diri.

Keterpurukan terus merambat seiring dengan perilaku menyimpang ini. Warga bangsa akan menjadi rendah diri dalam pergaulan internasional. Semakin parah lagi hilangnya kepercayaan dunia. Gilirannya bangsa yang lemah dan selalu dijadikan sasaran empuk distribusi perdagangan gelap Narkoba dunia. Dampaknya akan lebih membuat terpuruknya para pecandu adalah stigma pecandu di masyarakat, negatif dan cenderung digeneralisasi. Setiap pecandu sebagai orang lemah, jahat, kriminal, dan bahkan sampah masyarakat. Kalangan masyarakat tidak sedikit yang menolak dan mengucilkannya. Meski mereka adalah korban yang butuh pertolongan bahkan nyata-nyata mereka sudah mengalami terapi dan rehabilitasi hingga sembuh total, dan sudah bertobat sekalipun. Tumbuhnya keresahan, dan hilangnya kepedulian masyarakat, terhadap merajalelanya penyalahguna Narkoba, semakin banyak pecandu. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab tumbuhnya stigma pecandu di masyarakat.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok adalah : “Bagaimanakah mengatasi stigma Pecandu di Masyarakat?” dari permasalahan pokok ini, terdapat beberapa persoalan yakni : pertama, Bagaimanakah kondisi pandangan masyarakat terhadap stigma pecandu narkoba saat ini?. Kedua, Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh dalam pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba? Ketiga, Bagaimanakah kondisi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba yang diharapkan? Keempat, upaya-upaya apakah yang perlu dilakukan untuk mengatasi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba?





II. PEMBAHASAN

Stigma pecandu merupakan bagian dari stigma social. Cenderung mengarah kepada marjinalisasi sehingga orang yang berbeda dari mayoritas masyarakat, dipinggirkan. Ini bisa berarti bahwa mereka memiliki keterbatasan akses seperti pendidikan, layanan kesehatan atau tinggal di tempat yang kurang baik. Stigma ini mencakup sikap terhadap kekurangan dan kelainan fisik atau mental serta ilegalitas, misalnya saja homoseksualitas, agama atau etnis tertentu, dan pecandu. Kriminalitas juga membawa stigma sosial yang kuat. Stigma pada umumnya ditemui dalam 4 bentuk ; pertama, stigma yang berdasarkan ciri-ciri luar (penyakit) seperti menderita lepra, kusta dsb. Stigma juga mencakup orang dengan predikat sebagai penyandang penyakit HIV/AIDS. Kedua, Stigma berdasarkan pada sifat atau perilaku pribadi yang tidak diinginkan di mata budaya dominan seperti penjahat, pekerja seks, transgender dan pecandu narkoba. Ketiga, stigma tribal yang berdasarkan pada keanggotaan dalam kelompok tertentu misalnya ras, bangsa, atau agama yang berbeda dari ras yang dominan, kewarganegaraan atau agama. Keempat, Self stigma. Orang-orang yang dari ketiga kelompok diatas menarik diri dari kehidupan mayoritas karena fakta bahwa mereka men-stigma diri sendiri. Mereka telah menduga adanya reaksi negatif dari masyarakat mengenai karakterisstik tertentu. Misalnya homoseksualitas menarik diri sebagai antisipasinya.
Pengertian stigma pecandu, adalah serangkaian gagasan dan keyakinan yang menghubungkan kondisi kecanduan narkoba dengan perilaku seseorang atau kelompok yang dianggap negatif oleh masyarakat. Misalnya pecandu narkoba seringkali dikaitkan dengan kejahatan, kehancuran masa depan bangsa. Stigma pecandu adalah muatan sosial negatif’ yang dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Untuk lebih memahaminya, mari kita berpikir tentang flu. Hampir tidak ada orang yang malu atau khawatir untuk mengakui bahwa ia menderita flu karena tidak ada muatan sosial negatif yang dikaitkan dengan penyakit tersebut. Tetapi jika seseorang dapat tertular flu karena penyimpangan seksual, maka akan lebih sulit bagi orang untuk mengakui bahwa mereka menderita flu.
A. Kondisi Pandangan Masyarakat Terhadap Stigma Pecandu Narkoba Saat ini.
Pertama, pandangan masyarakat terhadap pelaku kejahatan pada umumnya sinis, dan skeptis. Misalnya saja terhadap residivis, eks tahanan politik, termasuk pecandu narkoba. Pengalaman empirik menegaskan bahwa pecandu narkoba merupakan korban yang diberikan stigma sebagai kriminal. Simak saja perundang-undangan yang berlaku kebanyakan menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada pecandu. Kedua, masih rendahnya kepedulian terhadap pecandu. Pengalaman yang berkembang di masyarakat, pada umumnya menutup diri untuk bergaul dengan pecandu meskipun mereka telah sembuh dan bertobat. Bahkan memiliki keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat. Khalayak belum bisa menerima sepenuhnya. Ketiga, stigma pecandu sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas. Pecandu selama ini hanya mendapatkan stigma hingga sebagian menganggap sebagai sampah masyarakat yang harus disingkirkan, dipenjara atau bila perlu dihapuskan dari muka bumi ini. Selama ini masyarakat banyak yang berpikiran bahwa pecandu pasti pernah melakukan tindakan kriminal. Atau suatu ketika, nanti, besok atau kapan saja di mana saja pecandu akan melakukan tindakan yang melanggar hukum. Keempat, pecandu belum sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan pecandu yang memadai. Kurang lebih 30 s/d 40 % penjara di seluruh Indonesia kebanyakan kasus narkoba dan tidak tertutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat jika pemerintah, aparat dan pihak-pihak terkait tidak segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. Kelima, perlakuan yang diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu sangat rentan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Apalagi, ketika harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Stigmasisasi dan diskriminasi merupakan hal lumrah yang harus diterima. Berdasarkan data yang diterima oleh Yayasan Kesehatan Bali sampai dengan pertengahan Desember 2007, sebanyak 39 orang korban penyalahgunaan narkoba pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari aparat penegak hukum. Hasil sebuah penelitian terhadap 115, mantan pecandu, 35 orang diantaranya atau 33,3 persen dari jumlah responden mengakui pernah mendapat kekerasan fisik dari aparat. Kekerasan fisik ini, seluruhnya dilakukan oleh penyidik. Polisi dalam melakukan penyidikan pecandu narkoba justru lebih didominasi pendekatan keamanan berupa penganiayaan secara fisik. Keenam, stigma negatif terus berkembang. Pencandu narkoba, sekeras apa pun dia berusaha, tidak bisa sepenuhnya sembuh. Mereka selalu identik dengan kekerasan, bertingkah seenaknya, mengganggu orang lain, dan merusak. Bahkan dicap sebagai sampah masyarakat. Stigma negatif itu yang akhirnya kembali membuat mantan pencandu narkoba kembali terpuruk. Mereka kembali terbenam dalam gelimang narkoba. Bahkan ada yang lebih parah dari sebelumnya. Sebagian besar penyebabnya adalah sikap orang-orang di sekitar mereka yang memberi stigma kepada mantan pecandu. Apalagi jika itu dari orang-orang terdekat, dari keluarga dan saudara yang sering menunjukkan rasa kurang percaya pada mereka akibat stigma yang mereka miliki.
Simak saja kasus ini :. “Seorang pemuda yang sedang menunggu bandar narkoba di gereja. Saat itu dia bersama teman-temannya yang sedang dalam masa rehabilitasi, diundang untuk kebaktian dan bersaksi di gereja. Tapi dia bisa lolos, karena jumlah mereka belasan sementara pengawasnya cuma beberapa orang. Awalnya pecandu tersebut berkali-kali minta ijin untuk ke toilet. Sang pembina curiga lalu mengikutinya. Ternyata ada seseorang yang sedang menunggunya di salah satu ruang closed di toilet. Dia memang tidak punya uang, tapi kalau dia bisa menjual 3 dia akan dapat 1 gratis.) Ketujuh, sebagai dampak penerapan Undang-Undang Narkotika yang berlaku saat ini di negeri kita adalah perlakuan penegak hukum kepada pengguna. Mereka ditempatkan sebagai penjahat, bukan korban. Vonis yang dijatuhkan pidana penjara.

B. Faktor-faktor yang berpengaruh bagi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tumbuhnya stigma masyarakat terhadap pecandu. Perlunya menganalisis factor-faktor guna menentukan langkah-langkah upaya :
1. Kekuatan, pertama, Adanya lembaga pemerintah dan LSM yang memiliki kepedulian untuk melakukan terapi dan rehabilitasi lepada para pecandu Narkoba. Kedua, adanya upaya-upaya preventif yang sudah dilakukan oleh BNN dan pihak kepolisian. Namun upaya seperti itu saja sepertinya tidak membuat masalah menjadi selesai, ketika informasi dan edukasi mengenai pencegahan narkoba gencar-gencarnya disosialisasikan toh tetap saja stigma dan diskriminasi bagi pecandu tetap saja berlaku.
2. Kelemahan, pertama, sikap masyarakat yang tertanam kebencian kepada pelaku kejahatan narkoba. Ironisnya solusi terakhir yaitu penjara malah menjadi ajang tempat peredaran narkoba yang aman. Misalnya saja kasus yang terjadi di Lapas Kerobokan, ketika sipir penjara yang seharusnya sebagai pembina dan panutan oleh warga binaan Lapas malah menjadi pengedar narkoba. Lagi-lagi pecandu bukan diberi solusi untuk pulih, menjadi jera dan tobat, tapi justru lebih terjerumus. Kedua, Stigma masyarakat yang kuat terhadap pecandu kurang mendukung proses pemulihan terutama dalam penerimaan mantan pecandu setelah selesai masa terapi dan rehabilitasi. Ketiga, Perilaku aparat institusi pemerintah yang masih kurang manusiawi dalam memperlakukan pecandu sebagai korban. Keempat, Banyak keluarga yang mengucilkan anggota keluarganya yang menjadi korban pecandu.

3. Peluang, adanya berbagai dukungan dari organisasi swadaya masyarakat yang peduli terhadap para pecandu narkoba. Dengan membuka panti terapi dan rehabilitasi. Prinsip-Prinsip Terapi dan Rehabilitasi yang lazim digunakan: pertama, adanya program pemulihan dan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Kedua, adanya peluang pemenuhan kebutuhan pengobatan yang tersedia. Karena tiap individu yang kecanduan Narkoba dapat terjadi mendadak. Tersedianya program pemulihan / pengobatan bagi mereka yang sedang dalam kondisi kritis. Ketiga, tersedianya berbagai program pemulihan yang mampu menjawab semua kebutuhan individu, baik masalah ketergantungan narkoba, maupun kebutuhan medis, psikologis, sosial, vokasional dan hukum. Keempat, adanya pengobatan dan pelayanan perorangan berkelanjutan dan telah disesuaikan dengan perubahan kepribadian tiap pecandu. Kelima, adanya fasilitas untuk tetap tinggal dalam lingkungan terapi dan rehabilitasi dalam jangka waktu yang relatif panjang, merupakan pendukung efektifitas pemulihan. Keenam, Tersedianya tenaga konseling pribadi & kelompok serta terapi prilaku lainnya. Ketujuh, Pecandu yang mempunyai penyakit mental harustelah tersedia fasilitas pengobatan untuk adiksi dan penyakit mentalnya. Kedelapan, tersedianya program detoksifikasi medis sebagai tahap pertama dari pengobatan kecanduan serta proses lain untuk mengubah pecandu yang telah bertahun-tahun tergantung pada Narkoba. Sangat aman dalam menangani gejala psikis yang akut atas sakaw saat menghentikan penggunaan Narkoba. Kesembilan, tersedianya berbagai tenaga sukarela untuk pengobatan. Kesepuluh, adanya pemantauan terhadap kemungkinan kambuh di masa perawatan. kesebelas, adanya program pengobatan sebaiknya dilengkapi dengan pencegahan untuk IV / AID, Hepatitis B & C, TBC dan penyakit infeksi lainnya. Keduabelas, Indonesia negeri agamis, sangat memungkinkan membangun kesadaran dari aspek religius untuk menerima sesama manusia yang sedang jatuh dalam penderitaan. Sebagai korban yang sangat membutuhkan pertolongan.

4. Kendala, pertama, adanya pengaruh tekanan dari masyarakat terhadap pecandu narkoba. Sikap sinis dan menolak kehadiran mereka di tengah masyarakat menjadi penyebab kembalinya menjadi pecandu. Indonesia sebagai produsen narkoba kelas kakap yang mengekspor narkoba gelap ke berbagai Negara. Kedua, Suburnya tempat transaksi narkoba seperti Diskotik, pub, hotel, apartemen, mall atau tempat pelayanan umum lainnya. Ketiga, Bahwa tingginya pemakaian Narkoba suntik memicu peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS. Pada kasus kejahatan Narkoba di Indonesia, pada tahun 2002, dari 110.000 orang pengidap HIV/AIDS, 42.000 di antaranya adalah pengguna narkoba suntik.) . Keempat, masih lemahnya UU No.22/1997 tentang Narkotika, yaitu pada Pasal 5. “Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya”. Pasal ini menegaskan bahwa semua orang dilarang mengkonsumsi narkotika yang termasuk dalam daftar nama-nama narkotikan golongan I, dan di UU ini seperti heroin, kokain, ganja. Pasal 78 ayat (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : point a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman Atau point b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Orang yang mengkonsumsi narkotika pasti ada saat-saat membawa dan menyimpan narkotika sebelum dikonsumsi. Jadi pasal ini menegaskan bahwa hanya membawa dan menyimpan narkotika bisa dikenai hukuman penjara. Mestinya ada batasan/ukuran narkotika yang dibawa bisa dikategorikan sebagai perbuatan kriminal dan peruntukannya. Pasal 82 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi UU No. 5/1997 tentang Psikotropika. Pasal 62 :Barang siapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 59 ayat (1): Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau. b. mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
c. mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu Pengetahuan; atau d. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal ini justru lebih parah, karena menyamakan hukuman terhadap konsumen psikotropika dengan pengedar dan produsen. Kelima, Terpuruknya kondisi ketahanan bangsa akibat lemahnya karakter bangsa, berimbas keberbagai aspek kehidupan. Penegakan hukum lemah, keadilan semakin punah, kejujuran semakin enyah, hegemoni semakin menguat dan semangat bangsa pembelajar semakin rendah. Kondisi inilah yang sangat subur untuk sasaran distribusi gelap Narkoba. Adabya pengaruh perdagangan gelap Narkoba yang merambahi berbagai lini kehidupan hingga warga bangsa semakin banyak menjadi pecandu. Keenam, Salah satu sebab membengkaknya jumlah pengguna narkotika di lembaga pemasyarakatan adalah tidak diterapkan secara penuh UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan pasal 44 UU itu, para hakim seharusnya memutuskan pidana bagi pengguna narkotika seharusnya dikirim ke panti rehabilitasi bukan ke lembaga pemasyarakatan. Sesuai UU, hakim dapat menjatuhkan pidana bagi para pengguna narkotika dan obat terlarang (Narkoba) untuk dirawat di panti rehabilitasi. Berdasarkan catatan Dephukham, keputusan itu pernah terjadi di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Namun, terpidana pengguna narkotika di pengadilan itu akhirnya tak jadi dikirim ke panti rehabilitasi dan kembali ke Lapas di Yogyakarta. Jumlah penghuni Lapas di Indonesia mencapai 112.744 orang. Dari jumlah tersebut, 24.371 adalah pecandu Narkoba. Sebanyak 7.055 di antaranya adalah pengedar Narkoba dan 641 penghuni lain yang dijebloskan ke Lapas saat ini adalah produsen Narkoba. Ketujuh, Menurut Baudrillard manusia senantiasa menghamba pada hawa nafsu serta menampakkan kecenderungan pada bentuk-bentuk amoral. Hal itu terjadi karena eksistensinya amat dipengaruhi oleh sikap penolakan akan segala bentuk penilaian moral. Mengendurnya nilai moralitas dan merosotnya nilai spiritual itu membuka jalan bagi berkembangnya berbagai bentuk penyimpangan yang merupakan artikulasi dari keinginan untuk keluar hal normatif. Kondisi seperti inilah yang menjadi ciri-ciri rapuhnya karakter manusia. Akibatnya, mereka terseret oleh dan bahkan terjebak masuk kedalam budaya konsumtivisme. Kedelapan, Indonesia yang merupakan bangsa terbesar keempat dunia. Sebagai lahan strategis bagi pangsa pasar perdagangan gelap Narkoba. Dampak negatif Narkoba, selain berakibat buruk pada kondisi fisik dan psikis, distorsi terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental yang kurang siap mengarungi samudera kehidupan global yang sarat tantangan ini. Kesembilan, Korban (pecandu) narkoba telah memiliki kebiasaan menyimpang sejak usia sekolah dasar (SD) (dari 60%). Kebiasaan itu antara lain, suka membolos, merokok, suka mencuri uang orang tua, dan tidak bisa duduk tenang di kelas selama kegiatan belajar berlangsung. Untuk itu, lanjutnya, para orangtua jangan terlalu toleran atau bersikap terhadap penyimpangan perilaku anak-anaknya tersebut. Celakanya masalah itu kerap dilegitimasi sebagai pencarian jati diri pada si anak. Dalam kasus ini, orangtua menjadi titik kunci. Telah terjadi banyak kasus di mana mencegah lebih baik daripada mengobati. Kesadaran orangtua dalam menyikapi penyimpangan perilaku sangat berperan penting, bahkan perlu ditingkatkan. Orangtua kadang juga belum memahami fungsi rumah sebagai pusat rujukan anak. Kesepuluh, para pecandu, cenderung menjadi korban pengasingan oleh keluarganya. Sebesar apa pun keinginan untuk sembuh bakal sia-sia lantaran korban cenderung terasing dan kesepian. Si anak kebanyakan merasa terbebani dosa pada masa lalunya. Kesebelas, WHO (2002) mengakui adiksi sebagai sebuah penyakit kronis yang sering kambuh (chronically relapsing disease). Untuk itu, perawatan dan rehabilitasi jangka panjang (lebih dari enam bulan) dibutuhkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan, perawatan dan rehabilitasi saja tidak cukup, dibutuhkan program purnarawat yang jangka waktunya bisa lebih dari enam bulan. Para ahli sepakat, pencandu narkoba mempunyai masalah medis, psikologis, dan sosial yang serius. Tindakan para pencandu memang merugikan masyarakat, karena tidak memperoleh perawatan dan rehabilitasi. Kasus Roy Marten dan banyak pencandu lainnya, yang mereka alami adalah kriminalisasi, pemenjaraan, dan stigmatisasi masyarakat. Bukan perlakuan terhadap korban. Keduabelas, Musuh masyarakat cenderung kepada pencandu, seharusnya produsen dan pengedar. Statistik Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pencandu (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Penjara seolah menjanjikan adanya detoksifikasi dengan model kalkun dingin (cold turkey), yaitu tanpa bantuan zat/obat. Namun, dengan maraknya peredaran narkoba di penjara, detoksifikasi pun tidak mungkin. Tindakan selanjutnya, yaitu perawatan dan rehabilitasi, jelas tidak dapat terpenuhi di dalam penjara karena programnya tidak dirancang khusus untuk itu. Akibatnya, banyak pencandu yang sakit, ketularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan meninggal.


C. Kondisi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba yang diharapkan.

Pertama, pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba kondusif dan kooperatif. Melalui sisi kemanusiaan masyarakat mampu memandang dan memperlakukan pecandu. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Perundang-undangan yang berlaku mengakomodasi pecandu sehingga mereka tidak akan dijatuhi hukuman vonis penjara namun terapi dan rehabilitasi. Kedua, meningkatnya kepedulian terhadap kondisi pecandu. Tumbuhnya semangat masyarakat untuk membuka diri terhadap pecandu dan mantan pecandu. Sanggup menerima mantan pecandu yang telah memiliki keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat. Berkurangnya kemunafikan masyarakat. Ketiga, adanya perubahan stigma atau julukan sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas. Masyarakat mampu berpikir dan berperasaan terhadap pecandu bukan pelaku kriminal. Keempat, Korban pecandu sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan yang memadai. Penjara di seluruh Indonesia tidak lagi dihuni oleh kasus pecandu narkoba. Pemerintah, aparat dan pihak-pihak terkait segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. Tindakan yang lebih edukatif dan konstruktif. Kelima, perlakuan tidak diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu narkoba sangat rentan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Seluruh aparat pemerintah terkait harus menegakkan hak asasi manusia. Dengan mempelopori penghapusan stigma pecandu Narkoba. Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pecandu narkoba tidak didominasi dengan pendekatan keamanan berupa penganiayaan secara fisik. Keenam, memupus stigma negatif. Meyakini bahwa pencandu narkoba, dengan bimbingan yang professional melalui terapi dan rehabilitasi, maka akan mampu pulih dan masyarakat siap menerimanya. Dalam rangka menciptakan kondisi guna mendukung mantan pencandu narkoba untuk hidup normal. Membangkitkan semangat percaya diri. Ketujuh, sudah direvisinya Undang-Undang tentang Narkotika, sehingga perlakuan penegak hukum kepada pengguna atau pecandu tidak lagi ditempatkan sebagai penjahat, namun korban yang harus dilindungi dan disembuhkan. Kedelapan. Diefektifkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung tanggal 17 Maret 2009 tentang Permintaan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi agar putusan hakim terhadap para pecandu diarahkan untuk perawatan di tempat rehabilitasi.
D. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mengatasi Stigma Pecandu Narkoba.
1. Dari Aspek Institusi/aparat Negara
Pertama, BNN melakukan koordinasi dengan seluruh institusi terkait untuk mengusulkan pemberian diskresi kepolisian. Diskresi diperuntukkan dalam pengusutan korban narkoba, untuk tidak diperlakukan seperti tersangka. Kebijakan diskresi oleh penyidik perlu dikembangkan, mengingat polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana, dengan tujuan yang lebih luas demi kemanusiaan pecandu sebagai korban. Mereka yang bukan pengedar atau Bandar atau produsen gelap narkoba. Kedua, Harus ada upaya konsisten untuk memutus mata rantai peredaran narkoba," oleh seluruh aparat pemerintah bersama komponen masyarakat. Guna mencegah merajalelanya narkoba gelap, yang berujung semakin meningkatnya korban sebagai pecandu. Ketiga, Mengembangkan kemampuan anak untuk menolak narkoba
oleh institusi pendidikan. Memberitahu kepada setiap anak didik mengenai haknya melakukan sesuatu yang cocok bagi dirinya. Jika ada teman yang memaksa atau membujuk, ia berhak menolaknya. Membimbing anak mencari kawan sejati yang tidak menjerumuskannya. Mengajarkan kepada anak didik mengenai bahaya narkoba dengan menggunakan nalar sehat. Mengajarkan anak menolak tawaran memakai narkoba. Keempat, mendukung kegiatan anak yang sehat dan kreatif lembaga pendidikan memberikan dukungan terhadap kegiatan anak di Sekolah, berolahraga, menyalurkan hobi, bermain musik. Kelima, Membuat aturan perundangan dan dengan komitmen yang kuat dilaksanakan dalam rangka membangun tata kehidupan masyarakat yang haronis. Aturan tersebut dituangkan dalam perundangan tentang pecandu narkoba bukan lagi dikategorikan sebagai kriminal/pelaku kejahatan namun sebagai korban yang membutuhkan pengobatan, terapi dan rehabilitasi. Keenam, memberikan perlindungan terhadap korban tersebut, dan menjatuhkan sanksi bagi masyarakat yang membiarkan dan dengan terang-terangan terbukti memberikan stigma. Mahkamah Agung meminta hakim tak menjatuhkan hukuman pidana penjara terhadap para pemakai narkoba. Ketujuh, menerapkan secara efektif Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung, tanggal 17 Maret 2009 tentang Permintaan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi agar putusan hakim terhadap para pecandu narkoba berupa pengobatan atau perawatan di tempat rehabilitasi. Kedelapan, Treatment & Rehabilitasi. Dilakukan oleh lembaga pemerintah dan swasta untuk memberikan dukungan pengobatan dan perawatan bagi pecandu Narkoba. Untuk itu perlu pertama, meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan dan tenaga terkait dalam penanggulangan Narkoba, khususnya dalam bidang treatment dan rehabilitasi. Kedua, meningkatkan mutu pelayanan treatment dan rehabilitasi. Ketiga, meningkatkan kualitas hidup para pecandu Narkoba. Keempat, penelitian dan pengembangan program Treatment dan rehabilitasi, khususnya Harm Reduction (Substitusi obat, Needle Exchange, ) Kesembilan, Penanggulangan over dosis. Lembaga pemerintah dan suasta yang berkecimpung di bidang penanggulangan Narkoba diberikan penyuluhan hingga mampu menangani kasus over dosis. Overdosis bisa terjadi pada pemakai baru ataupun pemakai yang sudah bertahun tahun. Kesepuluh, Mengatasi Overdosis Putaw. Untuk mengatasi si pecandu dalam kondisi overdosis yaitu mengusahakan dalam keadaan yang tenang jika kita menemukan atau menghadapi masalah dengan orang yang overdosis. Mengecek kesadarannya, lihat apakah orang itu masih sanggup untuk berbicara dan membuka mata, dan menggoyangkan badannya dan memanggil namanya. Cek nadi dan nafas apakah masih berfungsi atau berjalan sebagaimana mestinya. Jika orang itu hilang kesadaran, coba untuk membangunkannya dan mengajak berjalan dan jika perlu kita memapah mereka dan terus mengajak berbicara kepada korban. Sangatlah penting menjaga agar si pecandu tetap sadar. Jika orang itu berhenti bernafas sesegera mungkin untuk melakukan cara yang bisa kita lakukan sendiri seperti membuat nafas bantuan dan kalaupun kita tidak bisa segeralah menelpon atau menghubungi rumah sakit terdekat. Jangan pernah meninggalkan seseorang dalam keadaan overdosis dan segera panggilkan bantuan. Kesebelas, Mengatasi Over Dosis Stimulan. Untuk mengatasi overdosis dari pemakaian segala macam jenis Narkoba yang digunakan baik itu stimulan ataupun depresan. Bika menemukan atau berhadapan dengan orang yang mengalami hal ini, diusahakan dengan keadaan tenang menghadapi orang yang mengalami overdosis. Khususnya pada pengguna jenis drugs yang tergolong dalam stimulan. Jika orang tersebut tidak sadarkan diri, coba untuk menggoyangkan badannya dan memanggil namanya berkali-kali. Pada dasarnya yang terpenting harus segera menghubungi pihak yang benar-benar ahli dalam masalah ini, seperti rumah sakit terdekat. Keduabelas, Rehabilitasi merupakan tahapan penting bagi pecandu Narkoba untuk lepas dari ketergantungan Narkoba. Pemulihan merupakan proses panjang dan sering diibaratkan perjalanan dari pikiran (adiktif) ke hati. Program ini dikenal sebagai proses pemulihan yang menekankan konversi hati dan perubahan internal. Ketigabelas, adanya bentuk-bentuk kegiatan pendukung yang kondusif. Kegiatan tersebut seperti; Support Group, untuk memberikan penguatan kepada mantan pecandu. Peer Support, terhadap mantan pecandu. Family Support, dukungan untuk keluarga pecandu dengan memberikan informasi mengenai adiksi, HIV/AIDS, rujukan, dll. Program penjangkauan yang telah dilakukan untuk menjangkau pecandu aktif dengan memberikan materi jarum steril dan pendampingan methadone. Tujuannya untuk tetap memantau perubahan perilaku teman-teman yang sudah mengikuti program substitusi oral ini. Drop in centre. Tempat singgah untuk teman-teman IDU. Bisa bermain musik, support group, konseling, pelayanan kesehatan dasar, dan mencari informasi tentang rujukan detoks, rehab, methadone, RS, ataupun informasi yang berhubungan dengan dunia adiksi. Keempatbelas, menyelenggarakan program After Care (AC). Program ini dimaksudkan untuk membantu menciptakan kondisi yang mendukung mantan pecandu sehingga tidak mudah lagi jatuh kea lam penyalahguna narkoba.

2. Unsur Mantan Pecandu.
Mantan pecandu dapat melakukan di tingkat pribadi dalam menghadapi stigma melalui : Pertama, dapat mengabaikannya dan melanjutkan hidupnya. Kedua, dapat menghindari pembahasan terkait dengan masalah pecandu. ketiga, dapat mencari teman, mentor, atau seseorang yang dapat memberi anda dukungan spiritual. Menghubungi LSM untuk pemberdayaan dan pembelaan hak asasi manusia. Keempat, dapat membuat buku harian dan mencatat pengalaman yang dirasakan dalam pengalaman tersebut. Kelima, dapat bergabung dengan kelompok relawan yang siap memberikan dukungan. Keenam, dapat menentangnya, jika terdapat ancaman kesehatan fisik. Dengan mempertentangkan fakta dengan apa yang dikatan orang tersebut. Ketujuh, Saling bertukar ide, pengalaman dan saling mendukung diantara sesama mantan pecandu.
Sedangkan menurut Tony Trimingham untuk mencapai sukses bagi mantan pecandu perlu melalui tahapan yang dikenal dengan Stepping Stones To Success. Tahapan tersebut diawali dengan penolakan, - kekhawatiran, - perasaan bersalah, - malu/stigma/aib, - terisolasi, - dukacita, - marah, - bertanya mengapa, tanggungjawab, - menceritakan kisahnya, - keluarga/teman relasi menguatkan, - harga diri, - butuh informasi, - dukungan jaringan, - kepercayaan, - timbulnya perasaan bertentangan, - meninggalkan atau menyerahkan, -komunikasi, - kehidupanmu/kehidupan mereka, - mendukung bukan menolong, dan akhirnya sukses.

2. Unsur Masyarakat. Diberikan pemahaman untuk merubah stigma demi kesanggupan menerima pecandu yang telah siap kembali ke masyarakat. Bahwa pencegahan merupakan usaha terbaik dalam menghadapi merebaknya penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Diyakini, pendidikan budi pekerti, kesehatan, hukum, agama dan antimadat amat diperlukan. Komponen masyarakat menanamkan anak-anak dan orang muda hidup dalam lingkungan antimadat, dan anti narkoba. Untuk itu perlu : Pertama, sosialisai tentang pentingnya menghormati manusia sebagai makluk bermartabat. Pecandu narkoba, secara fakta cenderung dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Dengan demikian mereka termasuk kelompok rentan, terhadap tekanan, pandangan negatif masyarakat. Menyebabkan mudahnya mereka kembali kepada perilaku pengguna narkoba. Seperti contoh kasus Raymond ia masih muda, memiliki cita-cita dan ingin meneruskan hidup layaknya orang-orang yang tidak pernah menjadi pecandu. Berbagai keterampilan seperti menggunakan komputer, keterampilan mekanik motor, mix farming, dan sebagainya sudah diperoleh di panti sebagai bekal untuk hidup ketika dia harus keluar dari panti. Penerimaan masyarakat akan membantu untuk tak terjerumus lagi ke dunia kelam sebelumnya. Kedua, keterbukaan dan kepedulian. Menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk menerima mantan pecandu sebagai bagian masyarakat. Sebagai korman yang telah sembuh yang harus mendapatkan penerimaan yang kondusif. Ketiga, Meningkatkan kepekaan sosial mengenai perkembangan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan yang terkait dengan sumber penularan HIV juga dapat membantu menurunkan stigma di masyarakat umum. Stigma juga sering didasari oleh rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui, diluar kontrol kita. Oleh karena itu, melalui peningkatan pengetahuan mengenai pencegahan dan dampak narkoba, diharapkan mampu menghilangkan stigma.

2. Unsur Keluarga . Pertama, peran keluarga dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba. Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah upaya Yang dilakukan terhadap. factor-faktor yang Berpengaruh atau penyebab, baik secara langsung maupun tidak langsung, agar seseorang atau sekelompok masyarakat. Mengubah keyakinan, sikap dan perilakunya sehingga Tidak memakai narkoba atau berhenti memakai narkoba. Keluarga adalah lingkungan pertama & utama dalam membentuk dan mempengaruhikeyakinan, sikap dan perilaku seseorang terhadap penggunaan narkoba. Kedua, Membangun keluarga harmonis. Mendengarkan secara aktif, menunjukan kasih sayang dan perhatian orangtua kepada anak. Sikap orang tua yang menyebabkan anak berhenti atau menolak mencurahkan isi hatinya Menghakimi atau menuduh, Merasa benar sediri, Terlalu banyak memberi nasihat atau ceramah, Sikap seolah-olah mengetahui semua jawaban, Mengkritik atau mencela, Menganggap enteng persoalan anak. Sebaiknya menghindari kata-kata negatif: harus, jangan, tidak boleh Gunakan kalimat terbuka yang tidak membantu pembicaraan. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri anak. Anak pecandu memiliki citra diri yang rendah. Orang tua membantu peningkatan percaya diri anak dengan ; Memberikan pujian dan dorongan untuk hal-hal kecil atau sepele yang dilakukannya, membantu mencapai tujuannya secara realistik. Mengarahkan cita-citanya sesuai kemampuan dan kenyataan. Memberikan anak tanggung jawab yang dapat membangun kepercayaan dirinya, sesuai kemampuan dirinya. Memberikanm tugas misalnya membersihkan kamar tidur, menyapu ruangan, mencuci. Mewujudkan kasih sayang secara tulus. Keempat, Mengembangkan nilai positip pada anak. Sejak dini anak diajarkan membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Guna berani mengambil keputusan atas dorongan hatinuraninya, bukan karena tekanan atau bujukan teman. Menunjukkan sikap tulus, jujur, tidak munafik, terbuka, mau mengakui kesalahan, meminta maaf, serta tekad untuk memperbaiki diri. Kelima, Mengatasi Masalah Keluarga. Tidak biarkan koflik suami-istri berlarut-larut, sebab anak dapat merasakan suasana ketegangan orangtua. Diusahakan untuk menciptakan suasana damai antara suami isteri dan anak-anaknya. Keenam, mencegah penyalahgunaan narkoba di rumah, dengan mempelajari fakta & gejala dini penyalahgunaan narkoba, tentang penyalahgunaan narkoba. Berpartisipasi aktif dalam gerakan peduli anti-narkoba dan anti-kekerasan. Ketujuh, orang tua berperan sebagai teladan untuk tidak merokok, minum minuman beralkohol, atau memakai narkoba. Perlihatkan kemampuan orangtua berkata tidak terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. Jangan malu minta tolong jika butuh pertolongan. Hormati hak-hak anak dan orang lain. Perlakukan anak/orang lain dengan adil dan bijaksana. Hiduplah secaara tertib dan teratur.


III. P E N U T U P

Bahwa permasalahan Narkoba dewasa kini semakin memprihatinkan seluruh kalangan masyarakat beradab, termasuk bangsa negeri ini. Berbagai permasalahan terus datang silih berganti bagai tiada henti. Berawal dari tempat transit, kini peredaran dan produksi. Sehingga dampaknya semakin memudahkan pecandu yang terus bertambah. Melalui program Pencegahan, pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba, nyata-nyata masih belum efektif. Kini giliran kultur masyarakat yang menghadapi mantan pecandu. Begitu kuatnya stigma pecandu yang telah sembuhpun terkendala dengan stigma pecandu yang negative, semakin membuat terpuruknya pecandu. Dengan demikian kondisi pecandu dan mantan pecandu menjadi rentan untuk kembali menjadi pecandu dan bahkan lebih parah lagi. Selain itu mereka pun rentan untuk terpinggirkan dari pergaulan masyarakat. Sebagian warga masyarakat melalui komponen LSM dan institusi pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya. Namun masih tetap menghadapi kendala terbesar yaitu stigma masyarakat terhadap pecandu Narkoba yang terus negatif.
Untuk itu maka mutlak dilakukan langkah strategis dan inovatif serta berbagai terobosan baik bagi para pecandu, kalangan masyarakat, maupun institusi. Bagi pecandu kesembuhan dan pulihnya kepercayaan diri agar tidak kembali sebagai pecandu. Sedangkan untuk kalangan masyarakat melalui berbagai pendekatan kemanusiaan, mengubah persepsi masyarakat, untuk bersama-sama menerima dan mendukung mantan pecandu menjadi warga masyarakat normal. Disadari proses stigmatisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal pecandu maupun eksternal warga masyarakat. Termasuk keluarga pecandu yang belum seluruhnya siap menerima, pecandu.
Berbagai peluang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan guna menerima mantan pecandu melalui membangun mentalitas masyarakat menghilangkan stigma pecandu. Diperlukan berbagai pendekatan yang humanis. dengan membangun kesadaran kemanusiaan. Secara terus menerus disosialisasikannya program kemanusiaan. Mengarahkan masyarakat bahwa pecandu adalah korban yang wajib ditolong. Bukan dikriminalisasi. Membangun fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi pecandu. Program alternative development, program After Care. Kesemuanya merupakan bagian bentuk kepedulian masyarakat dan institusi untuk membantu pemulihan serta menghilangkan stigma yang suram terhadap mantan pecandu. Bahwa dalam rangka mengatasi stigma masyarakat terhadap pecandu mutlak diperlukan komitmen masyarakat untuk menerima pecandu sebagai korban. Mereka butuh bantuan penyembuhan, dukungan komitmen seluruh komponen bangsa ini yang meliputi institusi Negara, LSM, masyarakat, keluarga dan pecandu secara konsisten.
Guna mendukung kebijakan dan upaya pemberantasan Narkoba gelap di negeri ini serta membangun stigma pecandu di masyarakat diperlukan : Pertama kepada seluruh keluarga agar untuk belajar mendeteksi dini sehingga anggota keluarganya tidak terjerumus kedalam penggunaan Narkoba. Kedua, kepada seluruh warga bangsa sebagai umat beragama, untuk membantu menerima mantan pecandu yang siap kembali dan mendorong penyembuhan bagi pecandu melalui pendekatan religius, setulus hati. Ketiga, kepada seluruh aparat terkait dengan penanganan kasus pecandu narkoba, agar menempatkan mereka benar-benar sebagai korban. Menangani mereka dengan pendekatan kemanusiaan dan dalam kerangka pemulihan, melalui terapi dan rehabilitasi yang memadai. keempat, kepada seluruh pejabat dan aparat terkait dan berwenang agar segera merevisi Undang-Undang tentang Narkotika. Yang intinya pecandu bukan dikriminalisasi. Mereka harus dijamin dengan pasal yang menyatakan sebagai korban dan wajib diberikan pertolongan. Selanjutnya masyarakat yang memberikan stigma kepada pecandu diberikan sanksi. Guna membangun perilaku masyarakat yang mampu mengeliminasi stigma pecandu di masyarakat. Sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok rentan.


SUMBER PUSTAKA

Buku - Buku :
Green, Cris Wred. 2001, menanggapi Epidemi HIV di kalangan Pengguna Narkoba Suntikan: Dasar Pemikiran Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Warta AIDS, Yogyakarta.

Hawari, Dadang, 2004, Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (Sistem Terpadu) Pasien Naza (Narkotik, Alkohol, dan Zat Adiktif lain), UI-Press, Jakarta.

---------, 2006, Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif ) Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo Prof. Dr., 2003, Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Rineka Cipta , Jakarta.

Siregar, Sondang Susan,et all, 2006, Prosedur Standar Penanganan dan Pencegahan Keterlibatan Siswa Dalam Perdagangan Narkoba di Sekolah, YKAI dan ILO, Jakarta.

Sumadi Suryabrata, 1990, Psikologi Kepribadian, Rajawali, Jakarta.

Trimingham Tony, Stepping Stones To Success, Family Drug Support, handout V2, 2006, Australia.

Dokumen-dokumen
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2006, Kamus Narkoba istilah-istilah Narkoba dan Bahaya Penyalahgunaannya.

--------, 2003, Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya.
--------, 2006, Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia, Puslitbang info BNN.
--------,2005, Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia, tahun 2003 dan 2004.
--------,2006, Comprehensive Multidisciplineary Outline (CMO), (Garis Besar Penanggulangan Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba Secara Komprehensif dan Multi disiplin), dialihbahasakan dan disunting khusus untuk BNN oleh Holil Soelaiman (Konsultan Ahli BNN).
Undang-Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
---------,nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
---------,nomor 5 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illcit Traffict in Narcotic, Drugs and Psichotropic Substances.
Jurnal Data Badan Narkotika Nasional tahun 2008.
Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kotamadya.
Keputusan Presiden RI nomor 3 tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif lainnya.
Badan Narkotika Nasional, (2008), Terapi Rehabilitasi Komprehensif Bagi Pecandu Narkoba Dilihat Daru Sisi Psikososial.
Badan Narkotika Nasional, (2006), Modul Pelatihan Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Centre (OSC).
www.bnn.go.id
www.drugs.com
http:// gemapria.bkkbn.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar