KEJAHATAN NARKOTIKA :
EXTRAORDINARY CRIME DAN EXTRAORDINARY PUNISHMENT
Oleh : A. Kadarmanta, S.sos., MM
Pengamat masalah sosial, tinggal di Jakarta.
EXTRAORDINARY CRIME DAN EXTRAORDINARY PUNISHMENT
Oleh : A. Kadarmanta, S.sos., MM
Pengamat masalah sosial, tinggal di Jakarta.
Di tengah ingar-bingarnya isu globalisasi, kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini kian mengkawatirkan bangsa-bangsa beradab. Geliat mavia seakan tak mampu terbendung oleh gebrakan aparat penegak hukum di berbagai belahan dunia meski dengan begitu gencarnya memerangi. Lihat saja betapa seringnya diperdengarkan pernyataan tentang membangun komitmen bersama memberantas narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit badan-badan dunia yang terlibat, namun toh peredaran narkotika gelap terus merajalela.
Dari berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakan exstraordinary crime. Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif ynag ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk itu extraordinary punishment kiranya menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke saentero bumi ini sebagai transnational crime.
Lahirnya undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika merupakan terobosan stategis yang menunjukkan keseriusan masyarakat dan elit negeri ini. Di dalamnya tersurat tegas serangkaian pasal penjatuhan hukuman pidana yang jauh lebih keras melahirkan dampak jera bagi pengedar dan bandar narkotika. Tentu saja sejalan pemahaman prinsip hukuman yang seberat-beratnya bagi penjahat narkotika sebagai wujud extraordinary punishment yang telah dibangun di berbagai negeri berkembang.
Berbagai kajian baik oleh lembaga-lembaga manapun, baik nasional maupun internasional, telah menunjukkan kesepakatan untuk memberantas narkotika yang terus merambah sendi-sendi kehidupan. Untuk itu kiranya extraordinary punishment, menjadi salah satu alternatif yang lebih pas demi menyelamatkan anak bangsa ini. Timbulnya pro dan kontra pun akan terbuka. Entah dampak hembusan isu Hak asasi manusia atau justru kepentingan bisnis ilegal pihak tertentu. Lagi-lagi narkotika memang bisnis yang menggiurkan. Lihat saja dengan satu kg shabu bisa ,mengantongi satu miliar rupiah.
Kini menjadi tantangan bersama yakni bagaimana membangun kinerja jaringan yang profesional, bernurani, dan berkemanusiaan demi menyelamatkan anak bangsa ini. Sejak merebaknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, bangsa negeri ini pun tak tinggal diam. Komponen pemerintahan, praktisi, kalangan intelektual maupun kelompok masyarakat telah gencar memberantasnya. Sayangnya kasus kejahatan narkotika dari waktu ke waktu terus meningkat. Tengok saja prevalensi (penyebarluasan) kasus penyalahguna narkotika sejak lima tahun terakhir 2004—2008 menunjukkan tren peningkatannya, dari 1,75% menjadi 1,99%. Prevalensi 1,99 % ini setara dengan 3,6 juta-an jiwa menjadi pengguna gelap narkoba. Dikaitkan dengan fenomena gunung es kejahatan narkoba menurut Prof Dadang Hawari, bahwa muncul ke permukaan hanyalah 10% dari yang berada di bawah permukaan.
Dampak penggunaan narkotika gelap adalah tumbuhnya budaya malas, konsumtif, eforia, foya-foya, yang tak terarah. Aspek ekonomi, menghancurkan ekonomi, ratusan triliun rupiah hilang sia-sia dalam setahun sekedar untuk mengejar barang haram. Aspek politik, secara politis negara yang menjadi konsumen narkotika akan dikendalikan oleh mavia narkotika dan akan kurang prospektif dalam membangun kepercayaan dunia dalam berbagai aspek kemajuan bangsanya.
Menyimak merebaknya kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di disebabkan oleh beberapa faktor yakni lemahnya penegakan hukum, juga bagian dari efek domino efektifitas negeri tetangga memerangi kejahatan narkotika ini. Fenomena yang berkembang era ini, adalah pengaruh teknologi kejahatan transnasional yang dimensi keorganisasiannya semakin canggih dan motifnya yang bersifat multi dimensional-- ekonomi maupun politik.
Belum lagi teriakan masyarakat bahwa yang ditangkap dan terperangkap jerat hukum cenderung pengedar kelas teri dan kelompok cere. Mungkin memang seperti itulah kondisi percaturan dunia hukum dan keadilan di berbagai negara berkembang. Ungkapan “...written laws...were like spiders and would catch, it is true the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich” (Anarchasis, The Scythian Prince, Abad VI Sebelum Masehi) (“...hukum tertulis...sama seperti laba-laba yang akan menangkap, si lemah dan si miskin tetapi begitu mudah dikalahkan oleh penguasa dan si kaya”) tentunya hal ini menjadi tantangan bagi penegak hukum. Kian memprihatinkan jika si kaya akan bebas berkeliaran karena menumpuk harta hasil bisnis narkotika. Lebih celaka lagi bila terjadi intervensi penguasa korup.
Badan Narkotika Nasional sebagai focal point (institusi yang dikedepankan) dalam memberantas kajahatan narkotika terus berupaya keras. Lagi-lagi tantangan yang sangat berat bagi negeri ini meski bangsa-bangsa ASEAN membangun komitmen dan bersinergi untuk mewujudkan visi sebagai bangsa yang bebas dari narkotika tahun 2015. Lahirnya payung hukum pun yakni Undang-Undang (UU) Narkotika nomor 35 tahun 2009, serta adanya joint operation antar negara toh narkotika tetap saja sulit dikendalikan secara efektif. Secara substansial, UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan, namun penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang jauh lebih keras, dan kewenangan BNN yang meningkat. Tengok saja dalam UU narkotika yang baru :
Pertama, Pengobatan dan Rehabiltasi. Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah. Melalui UU No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi kewajiban bagi para pecandu. Selanjutnya pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial., kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga.
Kedua, Kewenangan BNN di bidang penyelidikan dan penyidikan. Porsi besar bagi BNN, adalah mencegah, memberantas penyalahgunaan, dan peredaran nakotika serta prekursor narkotika. BNN juga dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam konteks pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kejahatan narkotika, dan prekusor narkotika. Kewenangan tersebut menuntut implementasi secara sinergis dengan pihak kepolisian yang memiliki tugas dan kewenangan menangani tindak pidana narkotika, yang berkarakteristik extraordinary crime tersebut.
Ketiga, Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika diarahkan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Hal ini sangat relevan dengan isu HAM yang humanis.
Keempat, Peran Serta Masyarakat. Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut.
Kelima, Ketentuan Pidana. Bahwa dalam UU yang baru tersebut dicantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. Pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika, jauh lebih keras dibanding UU narkotika yang lama. . Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Dalam konteks ini extraordinary punisment dimaknai sebagai penjatuhan hukuman yang sangat serius dan sangat berat dengan mempertimbangkan berbagai aspek lain dengan tujuan menimbulkan efek jera setinggi mungkin bagi siapa saja yang melakukan kejahatan narkotika.
Undang-Undang Narkotika bagian dari instrumen menghadapi ancaman extraordinary crime, maka jaminan adanya pendekatan yang lebih humanis terhadap korban/penyalahguna narkotika dan hukuman yang lebih keras kepada pengedar atau bandar narkotika. Menyimak data lima tahun terakhir bahwa kejahatan narkotika terus menunjukkan peningkatannya. Secara sederhana dapat dilakukan analisis, bahwa bila penanganan dilakukan oleh lembaga denga kompetensi sumber daya manusia sama, metode, dukungan anggaran dan sarana prasarana, dan penjatuhan hukuman serta pemulihan korban tidak ada perubahan signifikan maka dapat diprediksi bahwa kasus kejahatan narkotika akan mengalami peningkatan yang cenderung sama pula. Impian Indonesia bebas dari penyalahgunaan narkotika tahun 2015 kian menjauh dari kenyataan. Komponen bangsa di bumi pertiwi ini telah melakukan perubahan yang signifikan dalam aspek payung hukum, dengan lahirnya UU narkotika. Menjadi permasalahan bersama adalah perubahan aspek kelembagaan serta komponen lainnya pun harus signifikan.
Dalam rangka pemajuan nilai-nilai hak asasi manusia, penjatuhan hukuman berat sebagaimana hukuman mati yang ditetapkan dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009, adalah demi melindungi hak asasi manusia khalayak yang kini masih jernih belum terpolusi oleh kejahatan narkotika. Tengok saja kondisi Narkotika di Asia Pasific, pada tahun 2007 produksi ganja naik 29 persen, dari 1.003 ton pada 2006 menjadi 1.298 ton, dan ingá kini belum mengalami penurunan yang significan. Cannabis resin terkonsentrasi di subregions Barat dan Eropa Tengah, Dekat dan Timur Tengah / South-West Asia, dan Afrika Utara. Menurut data dari UNODC (United Nation Office on Drug and Crime) pada tahun 2008, budidaya kokain tetap terkonsentrasi di Kolombia, Peru dan Bolivia, dan hingga kini masih terus berproduksi. Belum lagi pasar global untuk amphetamine tipe stimulant kian dinamis. Pada tahun 2007 wilayah Asia Pasifik menyumbang lebih dari satu setengah methamphetamine global, sekitar sepertiga global "ekstasi" dan 11 persen heroin global. Ekstasi" di kawasan Asia-Pasifik meningkat tajam.
Di Asia Tenggara, budi daya opium poppy masih terus terjadi terutama di Myanmar, Laos, Thailand, dan Viet Nam meski mulai menurun dan lebih rendah dari Afghanistan. Myanmar, dan Thailand, budidaya opium umumnya mengikuti tren menurun dari tahun 1996 (163.000 ha) hingga 2006 (21.500 ha), tetapi meningkat secara signifikan pada 2007, untuk 27.700 ha, dan berkelanjutan pada dasarnya tingkat ini pada tahun 2008, sebesar 28.500 ha, hingga kini masih terus terjadi meskipun ada upa program alternative development. Sedangkan untuk opium, pembudidayaannya didominasi di Afganistan, mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam produksi opiat selama periode 2001-2008, dan terus berproduksi hingga kini.
Di Indonesia, tanaman ganja meningkat pesat pada tahun 2007, dari 12 ton pada tahun 2006-32 ton, dan menurut data yang diajukan oleh Indonesia untuk DAINAP, bahkan lebih tajam pada tahun 2008, hingga 140 ton. Kuantitas ini mungkin sinyal perkembangan yang signifikan, seperti yang sebanding dengan mereka yang terdaftar di India, di mana, selama lima tahun berturut-turut sampai 2007. Kejang ramuan ganja juga meningkat di Thailand, dari 11,9 ton pada tahun 2006-15,4 ton pada 2007 dan 18,8 ton pada tahun 2008.
Menyimak uraian di atas kiranya kejahatan narkotika pantas menyandang julukan selain extraordinary crime yang sangat terkait dengan extraordinary business oleh kalangan mavia. Untuk itu implementasi extraordinary punishment meski bukan satu-satunya dan akan menemui kontradiksi dari berbagai negeri di dunia ini kiranya menjadi wacana untuk dikaji. Dengan harapan kebijakan extraordinary punishment yang tengah dikembangkan mampu memberantas setidaknya menekan secara drastis kejahatan narkotika di bumi pertiwi ini. Semoga.
Dari berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakan exstraordinary crime. Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif ynag ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk itu extraordinary punishment kiranya menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke saentero bumi ini sebagai transnational crime.
Lahirnya undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika merupakan terobosan stategis yang menunjukkan keseriusan masyarakat dan elit negeri ini. Di dalamnya tersurat tegas serangkaian pasal penjatuhan hukuman pidana yang jauh lebih keras melahirkan dampak jera bagi pengedar dan bandar narkotika. Tentu saja sejalan pemahaman prinsip hukuman yang seberat-beratnya bagi penjahat narkotika sebagai wujud extraordinary punishment yang telah dibangun di berbagai negeri berkembang.
Berbagai kajian baik oleh lembaga-lembaga manapun, baik nasional maupun internasional, telah menunjukkan kesepakatan untuk memberantas narkotika yang terus merambah sendi-sendi kehidupan. Untuk itu kiranya extraordinary punishment, menjadi salah satu alternatif yang lebih pas demi menyelamatkan anak bangsa ini. Timbulnya pro dan kontra pun akan terbuka. Entah dampak hembusan isu Hak asasi manusia atau justru kepentingan bisnis ilegal pihak tertentu. Lagi-lagi narkotika memang bisnis yang menggiurkan. Lihat saja dengan satu kg shabu bisa ,mengantongi satu miliar rupiah.
Kini menjadi tantangan bersama yakni bagaimana membangun kinerja jaringan yang profesional, bernurani, dan berkemanusiaan demi menyelamatkan anak bangsa ini. Sejak merebaknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, bangsa negeri ini pun tak tinggal diam. Komponen pemerintahan, praktisi, kalangan intelektual maupun kelompok masyarakat telah gencar memberantasnya. Sayangnya kasus kejahatan narkotika dari waktu ke waktu terus meningkat. Tengok saja prevalensi (penyebarluasan) kasus penyalahguna narkotika sejak lima tahun terakhir 2004—2008 menunjukkan tren peningkatannya, dari 1,75% menjadi 1,99%. Prevalensi 1,99 % ini setara dengan 3,6 juta-an jiwa menjadi pengguna gelap narkoba. Dikaitkan dengan fenomena gunung es kejahatan narkoba menurut Prof Dadang Hawari, bahwa muncul ke permukaan hanyalah 10% dari yang berada di bawah permukaan.
Dampak penggunaan narkotika gelap adalah tumbuhnya budaya malas, konsumtif, eforia, foya-foya, yang tak terarah. Aspek ekonomi, menghancurkan ekonomi, ratusan triliun rupiah hilang sia-sia dalam setahun sekedar untuk mengejar barang haram. Aspek politik, secara politis negara yang menjadi konsumen narkotika akan dikendalikan oleh mavia narkotika dan akan kurang prospektif dalam membangun kepercayaan dunia dalam berbagai aspek kemajuan bangsanya.
Menyimak merebaknya kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di disebabkan oleh beberapa faktor yakni lemahnya penegakan hukum, juga bagian dari efek domino efektifitas negeri tetangga memerangi kejahatan narkotika ini. Fenomena yang berkembang era ini, adalah pengaruh teknologi kejahatan transnasional yang dimensi keorganisasiannya semakin canggih dan motifnya yang bersifat multi dimensional-- ekonomi maupun politik.
Belum lagi teriakan masyarakat bahwa yang ditangkap dan terperangkap jerat hukum cenderung pengedar kelas teri dan kelompok cere. Mungkin memang seperti itulah kondisi percaturan dunia hukum dan keadilan di berbagai negara berkembang. Ungkapan “...written laws...were like spiders and would catch, it is true the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich” (Anarchasis, The Scythian Prince, Abad VI Sebelum Masehi) (“...hukum tertulis...sama seperti laba-laba yang akan menangkap, si lemah dan si miskin tetapi begitu mudah dikalahkan oleh penguasa dan si kaya”) tentunya hal ini menjadi tantangan bagi penegak hukum. Kian memprihatinkan jika si kaya akan bebas berkeliaran karena menumpuk harta hasil bisnis narkotika. Lebih celaka lagi bila terjadi intervensi penguasa korup.
Badan Narkotika Nasional sebagai focal point (institusi yang dikedepankan) dalam memberantas kajahatan narkotika terus berupaya keras. Lagi-lagi tantangan yang sangat berat bagi negeri ini meski bangsa-bangsa ASEAN membangun komitmen dan bersinergi untuk mewujudkan visi sebagai bangsa yang bebas dari narkotika tahun 2015. Lahirnya payung hukum pun yakni Undang-Undang (UU) Narkotika nomor 35 tahun 2009, serta adanya joint operation antar negara toh narkotika tetap saja sulit dikendalikan secara efektif. Secara substansial, UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan, namun penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang jauh lebih keras, dan kewenangan BNN yang meningkat. Tengok saja dalam UU narkotika yang baru :
Pertama, Pengobatan dan Rehabiltasi. Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah. Melalui UU No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi kewajiban bagi para pecandu. Selanjutnya pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial., kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga.
Kedua, Kewenangan BNN di bidang penyelidikan dan penyidikan. Porsi besar bagi BNN, adalah mencegah, memberantas penyalahgunaan, dan peredaran nakotika serta prekursor narkotika. BNN juga dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam konteks pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kejahatan narkotika, dan prekusor narkotika. Kewenangan tersebut menuntut implementasi secara sinergis dengan pihak kepolisian yang memiliki tugas dan kewenangan menangani tindak pidana narkotika, yang berkarakteristik extraordinary crime tersebut.
Ketiga, Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika diarahkan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Hal ini sangat relevan dengan isu HAM yang humanis.
Keempat, Peran Serta Masyarakat. Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut.
Kelima, Ketentuan Pidana. Bahwa dalam UU yang baru tersebut dicantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. Pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika, jauh lebih keras dibanding UU narkotika yang lama. . Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Dalam konteks ini extraordinary punisment dimaknai sebagai penjatuhan hukuman yang sangat serius dan sangat berat dengan mempertimbangkan berbagai aspek lain dengan tujuan menimbulkan efek jera setinggi mungkin bagi siapa saja yang melakukan kejahatan narkotika.
Undang-Undang Narkotika bagian dari instrumen menghadapi ancaman extraordinary crime, maka jaminan adanya pendekatan yang lebih humanis terhadap korban/penyalahguna narkotika dan hukuman yang lebih keras kepada pengedar atau bandar narkotika. Menyimak data lima tahun terakhir bahwa kejahatan narkotika terus menunjukkan peningkatannya. Secara sederhana dapat dilakukan analisis, bahwa bila penanganan dilakukan oleh lembaga denga kompetensi sumber daya manusia sama, metode, dukungan anggaran dan sarana prasarana, dan penjatuhan hukuman serta pemulihan korban tidak ada perubahan signifikan maka dapat diprediksi bahwa kasus kejahatan narkotika akan mengalami peningkatan yang cenderung sama pula. Impian Indonesia bebas dari penyalahgunaan narkotika tahun 2015 kian menjauh dari kenyataan. Komponen bangsa di bumi pertiwi ini telah melakukan perubahan yang signifikan dalam aspek payung hukum, dengan lahirnya UU narkotika. Menjadi permasalahan bersama adalah perubahan aspek kelembagaan serta komponen lainnya pun harus signifikan.
Dalam rangka pemajuan nilai-nilai hak asasi manusia, penjatuhan hukuman berat sebagaimana hukuman mati yang ditetapkan dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009, adalah demi melindungi hak asasi manusia khalayak yang kini masih jernih belum terpolusi oleh kejahatan narkotika. Tengok saja kondisi Narkotika di Asia Pasific, pada tahun 2007 produksi ganja naik 29 persen, dari 1.003 ton pada 2006 menjadi 1.298 ton, dan ingá kini belum mengalami penurunan yang significan. Cannabis resin terkonsentrasi di subregions Barat dan Eropa Tengah, Dekat dan Timur Tengah / South-West Asia, dan Afrika Utara. Menurut data dari UNODC (United Nation Office on Drug and Crime) pada tahun 2008, budidaya kokain tetap terkonsentrasi di Kolombia, Peru dan Bolivia, dan hingga kini masih terus berproduksi. Belum lagi pasar global untuk amphetamine tipe stimulant kian dinamis. Pada tahun 2007 wilayah Asia Pasifik menyumbang lebih dari satu setengah methamphetamine global, sekitar sepertiga global "ekstasi" dan 11 persen heroin global. Ekstasi" di kawasan Asia-Pasifik meningkat tajam.
Di Asia Tenggara, budi daya opium poppy masih terus terjadi terutama di Myanmar, Laos, Thailand, dan Viet Nam meski mulai menurun dan lebih rendah dari Afghanistan. Myanmar, dan Thailand, budidaya opium umumnya mengikuti tren menurun dari tahun 1996 (163.000 ha) hingga 2006 (21.500 ha), tetapi meningkat secara signifikan pada 2007, untuk 27.700 ha, dan berkelanjutan pada dasarnya tingkat ini pada tahun 2008, sebesar 28.500 ha, hingga kini masih terus terjadi meskipun ada upa program alternative development. Sedangkan untuk opium, pembudidayaannya didominasi di Afganistan, mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam produksi opiat selama periode 2001-2008, dan terus berproduksi hingga kini.
Di Indonesia, tanaman ganja meningkat pesat pada tahun 2007, dari 12 ton pada tahun 2006-32 ton, dan menurut data yang diajukan oleh Indonesia untuk DAINAP, bahkan lebih tajam pada tahun 2008, hingga 140 ton. Kuantitas ini mungkin sinyal perkembangan yang signifikan, seperti yang sebanding dengan mereka yang terdaftar di India, di mana, selama lima tahun berturut-turut sampai 2007. Kejang ramuan ganja juga meningkat di Thailand, dari 11,9 ton pada tahun 2006-15,4 ton pada 2007 dan 18,8 ton pada tahun 2008.
Menyimak uraian di atas kiranya kejahatan narkotika pantas menyandang julukan selain extraordinary crime yang sangat terkait dengan extraordinary business oleh kalangan mavia. Untuk itu implementasi extraordinary punishment meski bukan satu-satunya dan akan menemui kontradiksi dari berbagai negeri di dunia ini kiranya menjadi wacana untuk dikaji. Dengan harapan kebijakan extraordinary punishment yang tengah dikembangkan mampu memberantas setidaknya menekan secara drastis kejahatan narkotika di bumi pertiwi ini. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar