Kamis, 06 Januari 2011

PECANDU NARKOBA DALAM PARADIGMA DAN STIGMA


Entah mulai kapan, tidak diketahui persis, namun fakta mengindikasikan sejak ratusan tahun sebelum Masehi, penghuni bumi ini telah menggunakan candu. Konon mereka hanya sekedar mengurangi rasa sakit, sebagaimana kepentingan medis, hingga demi kenikmatan dan kini berkembang luas sebagai komoditi gelap mavia yang mampu mengeruk keuntungan besar. Kondisi inilah yang kemudian mengusik peradaban bangsa untuk peduli kesehatan. Sejalan dengan dinamika peradaban bangsa jualah kini ikut menorehkan paradigma sekaligus stigma bagi penyalahguna candu. Candu yang belakangan di negeri ini lebih populer dengan sebutan narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif). Kini upaya untuk mengubah paradigma dan stigma pecandu kian menggeliat, meski disadari hal ini bukan perkara yang mudah.
Bergulirnya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 telah mendorong terjadinya bagi perubahan dalam penanganan narkoba terutama aspek pencegahan, pemberantasan dan penyalahgunaan. Lihat saja ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika kini jauh lebih keras, penanganan korban lebih humanis, dan dalam aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat. Sekian lama dampak dari paradigma, pecandu dikriminalisasi dan di-stigma negatif oleh masyarakat. Kian menambah litani keterpurukan penyalahguna barang haram itu. Belum lagi sikap sinis masyarakat terhadap pecandu, ditambah kriminalisasi oleh instituasi melalui implementasi Undang-Undang nomor 22 tahun 1997, yang telah direvisi baru-baru ini.
Pengalaman empirik membuktikan bahwa kriminalisasi penyalahguna tak menyelesaikan masalah. Justru berefek negatif, penyakit penyerta seperti HIV/Aids dan hepatitis kian merajalela. Penjara bukan solusinya, pertolongan medis, kasih sayang, dan kepedulian yang mereka butuhkan. Tak ada yang menyangkal bila stigma pecandu telah membuat terpuruknya penyalahguna narkoba. Mereka dicap hitam sebagai penjahat yang harus dijauhi agar tidak menular. Karakteristik penyalahgunaan narkoba cenderung berdampak timbulnya perilaku kriminal, baik penyelundup maupun bagi pecandu. Tantangan bagi kita untuk mencari solusi mengubah paradigma dan mengeliminasi stigma tersebut. Bukan semudah membalik telapak tangan, butuh keseriusan, kepedulian, kerelaan, dan komitmen kuat seluruh komponen bangsa, dengan BNN sebagai focal point pemberantasan kejahatan narkoba.
Bercokolnya paradigma bukan tanpa alasan, terkait dengan berbagai pandangan. Dennis L.Thombs, dengan Teori Model Moral, memandang penyebab terjerumusnya seseorang menjadi pecandu karena terjadi degradasi moral, maka untuk penyembuhannya harus melalui tempaan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, misalnya dengan memberikan hukuman penjara. Sedangkan pendekatan Disease Model (Model Penyakit), menganggap kecanduan sebagai penyakit adiksi yang bersifat kronis, progresif, dan fatal, oleh karenanya penyembuhannya melalui terapi dan rehabilitasi medis. Dr. Elfrin Jellineck malah mengembangkan dasar medis dari paradigma dan ruang lingkup efek penyakit bukan sekadar proses biokimia dalam diri pecandu, namun merambahi ke aspek spiritual sehingga penyembuhannya pun membutuhkan pendekatan spiritual.
Dinamika paradigma dan stigma pecandu di masyarakat kini memasuki tataran adiksi adalah penyakit yang harus disembuhkan bukan dikirim dipenjara. Stigma pecandu sebagai gagasan dan keyakinan masyarakat yang menghubungkan pecandu narkoba dengan perilaku jahat. Ini terjadi di banyak negara, di negeri ini setidaknya lebih satu dasawarsa Undang-Undang narkotika telah mengkriminalisasi penyalahguna narkoba. Stigma juga yang mendorongtewasnya manusia sia-sia hingga 15 ribu tiap tahunnya atau 41 orang perharinya. Tengok saja umumnya mereka meninggal di jalan dan tempat hiburan, bukan di tempat rehabilitasi. Stigma pula yang membuat korban takut berobat ke fasilitas rehabilitasi.
Hal itulah yang membuat pecandu dan keluarganya cenderung menyembunyikan permasalahan kecanduan narkoba, malu bercampur takut karenanya. Mereka menutup diri demi nama baik keluarga. Permasalahan baru bagi pecandu narkoba lagi-lagi timbul dalam bentuk disfungsi dalam keluarga. Kondisi stigma membuat pecandu narkoba semakin terpuruk. Namun tidak sedikit pecandu narkoba yang telah pulih dan kembali ke masyarakat merasa rendah diri. Stigma yang dilabelkan kepada mereka kian membuat frustasi, putus asa hingga tak sedikit yang menjadi pecandu kembali (relapse).
Bahwa paradigma pecandu negatif pun terjadi di negara maju seperti Amerika. Menurut survey yang dilakukan oleh Substance Abuse and Mental Health Services Administration, menunjukkan hal yang kurang kondusif, hanya 60% masyarakat yang merasa nyaman tinggal bersebelahan dengan seseorang yang sedang menjalani pemulihan dari kecanduan alkohol. Kurang dari setengah responden yang menyatakan bahwa mereka akan merasa nyaman untuk tinggal bersebelahan dengan yang menjalani pemulihan dari kecanduan obat-obatan terlarang.
Indikasi penyalahgunaan narkoba kian merajalela dapat dilihat dari data kasus kejahatan yang berhasil diungkap, membuat miris. Kejahatan narkoba di bumi pertiwi sejak 2004 hingga 2009 terus meningkat. Kasus kejahatan narkotiba mencapai 45.451 kasus, psikotropika berjumlah 38.125 kasus, dan jenis bahan-bahan adiktif lainnya berjumlah 17.440 kasus. Sedangkan untuk tersangka narkotika yang tercatat berjumlah 66.541 tersangka, psikotropika 55.381 tersangka, dan bahan adiktif lainnya 33.895 tersangka. Dari jumlah tersangka tersebut 413 orang adalah warga negara asing.
Geliat paradigma baru, melahirkan cara pandang dan perlakuan, mereka bukan lagi kriminal, namun korban yang harus ditolong guna penyembuhannya. Paradigma ini menjadi lebih humanis dalam memperlakukan penyalahguna narkoba. Kini pecandu mulai menghadapi respon dan dukungan kondusif lingkungan, bukan penolakan. Lihat saja kebijakanb pelaksanaan vonis rehabilitasi pecandu narkotika merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mulai diterapkan khususnya pasal 54, 55, 103, dan 127, bersifat lebih humanis kepada penyalahguna. Penyalahguna Narkotika wajib menjalani proses rehabilitasi medis dan sosial. Pecandu yang sudah cukup umur maupun orang tua / wali dari pecandu yang belum cukup umur, wajib untuk melapor kepada puskesmas, rumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah, untuk mendapatkan pemulihan atau Rehabilitasi.
Pecandu dapat menjalani proses rehabilitasi setelah mendapatkan putusan/ vonis pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim yang menangani perkara Narkotika. Hal tersebut di atas telah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 yang menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang tertangkap tangan oleh penyidik Polri atau penyidik BNN dan tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap Narkotika, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang telah ditentukan. Sebaliknya ancaman hukiuman yang jauh lebih keras bagi pengedar, importir dan produsen gelap narkoba.
Sebagai solusi, perlu membangun paradigma baru pecandu sebagai korban yang wajib ditolong dibarengi upaya mengikis stigma yang berkembang di masyarakat. Untuk itu diperlukan langkah nyata: pertama, mengimplementasikan undang-undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika secara efektif, agar penanganan penyalahguna narkoba kian humanis dan hukuman mafia narkoba kian keras akan efektif. Kedua, meningkatkan daya tangkal (imunitas) masyarakat terhadap bahaya narkoba melalui pendekatan preventive educative, agar jumlah korban kian dapat ditekan. ketiga, peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun paradigma dan mengikis stigma serta membangun kesadaran masyarakat yang kuat guna berperan aktif dalam pemulihan penyalahguna dan mengurangi angka relapse. Keempat, seluruh komponen bangsa ini mendorong melalui penghawasan publik terhadap konsistensinya keputusan hakim terhadap pecandu yang tidak terbukti bersalah untuk menjalani proses pengobatan dan perawatan di panti rehabilitasi medis/sosial. Kelima, menciptakan kondisi yang harmonis antara pecandu, keluarga dan masyarakat untuk bersama membangun kondisi humanis sehingga membantu proses pemulihannya. Membangun sarana prasarana dan infrastruktur yang diperlukan guna mendukung promosi penanganan korban yang humanis tersebut. Dengan keyakinan dan sikap optimis bangsa ini maka impian mweujudkan negeri yang bebas dari narkoba semakin nyata. Semoga.

Minggu, 12 September 2010

POLMAS SEBAGAI STRATEGI PARTNERSHIP BUILDING

ABSTRAK


Perpolisian masyarakat (Polmas) dewasa ini telah menjadi model perpolisian dalam masyarakat moderen. Model perpolisian yang menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi subyek dan mitra kepolisian dalam pemecahan masalah Kamtibmas. Kondisi karakteristik masyarakat di Indonesia merupakan modal awal dan faktor pendukung dalam pembangunan Polmas (Community Policing). Dalam membangun kemitraan diperlukan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi baik aspek teknis maupun penegakan hukum. Guna mendukung efektifitas implementasi Polmas, institusi kepolisisan telah dan terus melakukan reformasi birokrasi sebagaimana tuntutan dan harapan masyarakat.
Polmas menjadi aspek strategis dalam membangun kepercayaan masyarakat kepada kepolisian. Kepercayaan inilah yang bila ditumbuhkembangkan pada gilirannya menjadi faktor pendukung strategis dalam membangun kemitraan polisi-masyarakat, keberhasilan membangun kepercayaan masyarakat akan berdampak pada keberhasilan membangun kemitraan, demikian sebaliknya. Polmas merupakan salah satu strategi dalam partnership building yang diperlukan dukungan trust building.
Penerapan Polmas terkait dengan upaya membangun kerjasama polisi - masyarakat guna menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan Kamtibmas,, tidak hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahannya. Dalam konteks ini diperlukan kondisi kepercayaan masyarakat yang kondusif sebagai strategi membangun kemitraan polisi-masyarakat. Untuk itu dibutuhkan unsur–unsur pendukung yakni profesionalisme, implementasi paradigma polisi mitra masyarakat secara proporsional. Strategi tersebut mencakup pembinaan aspek internal maupun eksternal yang relevan dalam mewujudkan kemitraan.

(Key Words : Polmas, perpolisian moderen, reformasi birokrasi polisi, membangun kepercayaan masyarakat, polisi professional, paradigma kemitraan polisi-masyarakat, dan strategi partnership building).

I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif; Tujuan untuk memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat.
Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing).
Selain itu sebagai dukungan terhadap perpolisian moderen implementasi Polmas diwujudkan oleh kiprah kepolisian profesional, demokratis, berwibawa, kuat, dan dekat dengan masyarakat. Hal tersebut sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis. Perlunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian guna membangun kemitraan. Dalam implementasi tugas-tugas kepolisian dituntut cocok dengan kebutuhan masyarakatnya. Diperlukan kebijakan pimpinan institusi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat baik terkait dengan aspek teknis kepolisian, penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) maupun penerapan Polmas. Sebagai model strategi dalam membangun kemitraan (partnership building) maka Polmas dibutuhkan efektifitas perannya dalam implementasinya.
Citra polisi di mata masyarakat dengan iklim yang kurang kondusif akan menjadi ganjalan dalam membangun kemitraan. Tuntutan pencintraan tersebut sangat terkait dengan perilaku polisi yang etis dan bermoral. Dampak reformasi Indonesia adalah lahirnya tuntutan masyarakat terhadap institusi kepolisian dengan citra profesional dan humanis. Untuk itu maka kini terus dilakukan uapaya memantabkan kultur polisi sipil yang demokratis, menegakkan hukum dan hak asasi manusia. Polmas dalam partnership building mendorong terwujudnya kepolisian profesional dan berorientasi pada kepuasan masyaraka. Hal ini telah mengedepankan tindakan proaktif, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Menempatkan masyarakat sebagai mitra kerja yang setara dalam mewujudkan Kamtibmas.

B. Permasalahan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yakni : ” Bagaimanakah Polmas sebagai strategi dalam partnership building?”



II. PEMBAHASAN

A. Hakekat, landasan hukum, dan landasan konseptual Polmas

1. Hakekat Polmas. Pada hakekatnya Polmas atau perpolisian masyarakat (community policing) merupakan : a. perwujudan kerjasama Polisi dan masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Konsepsi Polmas secara konvensional melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Polmas merupakan model community policing ala negeri ini. b. Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap Kamtibmas. c. Menciptakan ketentraman umum. Mengandung makna bahwa Polmas bukan hanya sekedar meniadakan gangguan faktual terhadap Kamtibmas tetapi juga perasaan takut warga menghadapi gangguan Kamtibmas. d. Kerjasama Polisi dan masyarakat yang mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/ pengendalian dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya. e. Falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas dalam masyarakat, didukung oleh gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat. f. Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat, dengan polisi sebagai "problem solver". g. Pemolisian Masyarakat suatu filosofi atau strategi yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dan hal yang terpenting bagi Polri sebelum menerapkan Polmas adalah bagaimana institusi tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat, untuk mempermudah terjadinya kemitraaan.

2. Landasan Hukum. Landasan hukum Perpolisian masyarakat meliputi : a. UUD 1945 perubahan Kedua Bab XII Pasal 30 : (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha … Keamanan negara. (2) Usaha … Keamanan negara dilaksanakan melalui sistem … keamanan rakyat semesta oleh … dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. b. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pertimbangan huruf b ditegaskan bahwa “Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Sedangkan pada Pasal 3 : (1) Pengembangan fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau bentuk-bentuk pengawasan swakarsa. (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksankan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. c. Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.) d. Bahwa untuk anev Polmas dilakukan melalui sistem pendataan yang memungkinkan proses analisis dari satuan terbawah Kepolisian Sektor (Polsek) sampai Markas Besar (Mabes Polri) (pasal 54).) Dalam Skep/737/X/2005, Polmas menjadi program penuh dari tingkat Polsek sampai Polres, sedangkan pengawasan kegiatan dilakukan hingga tingkat Polda.

3. Landasan Konseptual.
a. Pengertian. Berbagai hal yang perlu diuraikan terkait dengan pengertian Polmas adalah sebagai berikut : 1. Konsep Polmas mencangkup dua unsur yakni Perpolisian dan masyarakat. Secara harafiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata Policing berarti segala hal ikhwal penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh. Mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filosofinya. 2. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata Community dalam konteks Polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Dalam perkembangan kebijakan Kapolri selanjutnya ) Community Policing diterjemahkan sebagai pemolisian masyarakat atau perpolisian masyarakat atau disingkat Polmas. Sedangkan pemolisian, merupakan pemberdayaan seluruh komponen dan sumber daya yang dapat dilibatkan dalam tugas dan fungsi guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.) 3. Trust building dalam konteks ini dimaksudkan sebagai public trust building yakni membangun kepercayaan masyarakat terkait dengan strategi Polmas. 4. Perpolisian masyarakat dalam trust building dimaksudkan sebagai seluruh kiprah perpolisian masyarakat baik terkait dengan hakikat Polmas maupun muaranya pada upaya membangun kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian, sehingga memerlukan langkah-langkah strategis. 5. Partnership building dimaksudkan sebagai kegiatan membangun kemitraan polisi - masyarakat dalam mewujudkan Kamtibmas. Sebagai strategi mencapai partnership building maka implementasi Polmas menekankan kemitraan polisi-masyarakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan Kamtibmas. 6. Model Polmas dapat mengambil bentuk : a). Model wilayah yaitu yang mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman (RW/ RK/ dusun/ desa/ kelurahan). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi. b). Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan terhadap wilayah hukum yang jelas seperti mall, pusat perdagangan, perkantoran, dan kawasan industri). Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama masyarakat dan petugas kepolisian. C) Perwujudan nilai-nilai dan hakekat Polmas, telah bermuara pada lahirnya trust building dan berdampak pada tumbuhnya kemitraan.

b. Konsep Community Policing (CP). Menurut para ahli seperti Trojanowich (1998), Bayley (1988), Meliala (1999), dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerjasama antara polisi dengan masyarakat tempat bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Konsep Polmas yang diadopsi Polri sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut dimodifikasi di Indonesia, karena karakteristik budaya masyarakatnya. Perlu ada penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran konsep Polmas tersebut dengan karakteristik masyarakat. Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini masih ada yang mengartikan pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun demikian dalam perkembangannya telah dimodifikasi dengan kebijakan tentang Polmas sebagai pemolisian masyarakat.)

c. Kultur polisi sipil. Merupakan gambaran dari budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, dengan pujian, perasaan puas, atau dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan perilaku Polri. Dalam rangka pemantapan kultur Polri, maka perlu diurai mengenai elemen budaya yakni artefak, nilai-nilai (values) dan asumsi dasar atau paradigma.) 1. Artefak, merupakan elemen budaya yang kasat mata, mudah diobservasi oleh seseorang atau kelompok orang baik dalam maupun luar organisasi. Menurut Mary Jo Hatch (1997) kategorisasi artefak yakni manifestasi fisik, yang terdiri atas logo, bentuk bangunan, cara berpakaian, tata letak bangunan, dan design organisasi. Sedangkan manifestasi perilaku antara lain upacara-ritual, cara berkomunikasi, tradisi/kebiasaan, sistem reward dan punishment, cara menyapa, mitos/sejarah/cerita-cerita sukses, dan metafora yang digunakan). Untuk itu perubahan secara kultural harus menampilkan sosok polisi yang ramah, tidak lagi memeras, tidak suka menjebak, tidak lagi arogan, tidak sewenang-wenang dan tidak bisa dibeli oleh calo kasus kejahatan. 2. Nilai-nilai (values), adalah sebuah konsep yang abstrak., namun bila diimplementasikan dalam model Polmas dikaitkan dengan transparansi dan akuntabilitas kinerja kepolisian akan sangat mendukung terwujudnya kemitraan polisi-masyarakat.

d. Kultur Masyarakat. Kultur masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya. Beberapa tuntutan terkait dengan persoalan masa lalu yang belum terselesaikan yakni telah menciptakan perasaan kekecewaan, kekhawatiran, dan ketidakadilan masyarakat. Salah satu bidang penting dari perkembangan itu adalah lemahnya lembaga penegak hukum akibat dari krisis sosial dan kepercayaan yang berkepanjangan. Dalam kondisi ini untuk membangun kemitraan diperlukan kultur polisi yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.

e. Sinerginya Kultur Polisi dan Kultur Masyarakat. Setelah kemandirian Polri model Polmas di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat terus dikembangkan. Dalam implementasinya, terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) sebagai wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat. Melalui ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan tentang soal Kamtibmas dan isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada. Misalnya saja perkumpulan Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, dan lain-lainnya. Dalam hal inilah pentingnya program Polmas yang awalnya dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan,) di era reformasi polisi. Antara kultur polisi yang melayani dan menegakkan hukum secara profesional menjadi sinergi dengan kultur masyarakat yang berperilaku demokratis, reforrmis, dan kultur yang mendukung penegakan hukum dan hak asasi manhusia.

e. Polmas Sebagai DukunganTerhadap Pencitraan Polisi. Pencintraan merupakan suatu proses menuju terwujudnya citra polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta penegak hukum. Sebagai profil profesional, bermoral dan moderen, polisi dalam melaksanakan tugasnya memahami dan menerapkan prinsip - prinsip dasar penegakan HAM. Dalam rangka kemitraan Polisi – masyarakat, dibutuhkan keterampilan komunikasi yang efektif, dengan bermacam-macam orang dari lapisan yang berbeda. 1) Komunikasi internal terjadi ketika dengan sesama anggota kelompoknya. 2) Komunikasi eksternal terjadi ketika anggota kepolisian berkomunikasi dengan departemen terkait dalam pemerintahan, organisasi- organisasi non pemerintah, kalangan bisnis, korban kejahatan, pelaku kejahatan dan anggota masyarakat lainnya. Implementasi Polmas yang efektif akan mendukung efektifitas pencintraan polisi, polisi yang bercitra profesional dan humanis dalam mewujudkan tugas memelihara Kamtibmas.

f. Unsur Utama dari Kemitraan Efektif 1. Sifat sukarela untuk bermitra 2. Saling ketergantungan sebagai dampak dari saling berbagi tanggung jawab, sumber daya, dan kompetensi. 4. Sinerginya konsep nilai tambah atau jumlah yang lebih besar dari pada bila tidak bermitra, namun hanya secara individu 5. Komitmen atau perjanjian pada bagian dari peserta. 6. Bekerja bersama-sama para mitra di semua tingkat, tahapan serta pelaksanaan dan evaluasi. 7. Adanya tambahan dukungan 8. Terjadinya peningkatan berbagai jenis sumber daya dan kompetensi. 9. Terjadinya komunikasi yang baik 10. Saling menghormati dan saling percaya.

g. Pemantapan Kultur. Konsep pemantapan, untuk menggambarkan perubahan dari kondisi kultur polisi sipil yang masih kurang stabil menjadi lebih stabil. Pemahaman tentang : a. Kata civil dikaitkan dengan civility yang secara harafiah berarti kesopanan. Dalam kata civilize yang berarti membudayakan lebih sopan. Kata civilization yang berarti peradaban, cara hidup orang atau negara yang beradab. Dengan demikian, civility tidak bisa diartikan hanya sebagai kesopanan, melainkan mencakup pemahaman yang lebih luas, termasuk peradaban. b. polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan lasimnya kepolisian. Konsep polisi sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien sebagai sosok bermartabat dan berharga diri. Nilai-nilai martabat/harga diri tersebut melekat dalam setiap pelayanan, pengayoman, perlindungan dan penegakan hukum.

B. Analisis Faktor Pengaruh Kinerja Kepolisian.

1. Aspek Sumber Daya Manusia. a. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, maka Polri kini terus membuat dan melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Di berbagai daerah dibangun pula Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), ada Ulama Mitra Kamtibmas dan sebagainya. Yang perlu bagi tuntutan masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat dengan polisi. Kondisi kemitraan polisi dengan masyarakat masih perlu terus ditingkatkan. b.Kondisi sebagian masyarakat yang masih merasa takut berhubungan dengan polisi. Masyarakat masih melihat polisi bagai hantu yang menakutkan. Meski Polri juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak takut melaporkan apabila ada oknum polisi yang arogan dan merusak citra. Masyarakat perlu sadar akan haknya untuk mendapatkan pelayanan dan sebagai mitra polisi.

2. Aspek Kultur. a. Kultur Polisi. Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas. Di samping itu juga berorientasi pada penjabaran nilai-nilai Filosofi, Visi, Misi, tujuan, tugas, wewenang dan Doktrin Polri. Semuanya bermuara pada upaya untuk memelihara Kamtibmas. Melalui kegiatan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, kiranya mampu mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat." b. Polisi sebagai elemen aparatur pemerintahan. Berbagai persoalan publik diharapkan dapat dilakukan sharing-position polisi dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya, hal ini sebagaimana dirumuskannya konsep community policing oleh Robert R Friedmann (1998). c. Perubahan kultur polisi sebagai kerangka konseptual untuk mengimplementasikannya.

3. Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi. Pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mentalitas. Mental pelayan diberikan makna positif seiring dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Secara kasuistis penyimpangan petugas kepolisian berdampak negatif. Terutama di tengah kepolisian yang sedang membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat. Misalnya saja Babinkamtibmas telah memberikan penyuluhan bahwa polisi saat ini telah berubah, sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Namun ironis memang karena masih saja ada sebagian warga yang merasakan ketika berurusan dengan masalah pelayanan oleh petugas polisi ketika menegakkan hukum, sebagian warga masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif dan pungutan liar yang membebaninya.

4. Aspek Perilaku Aparat. Bahwa masih adanya perilaku aparat yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu. Di berbagai daerah, masih banyak oknum-oknum yang belum menyadari tugas sebagai Polri. Banyak oknom polisi yang bersikap arogan dan seakan-akan kebal hukum. Kebijakan Polri itu tidak pernah demikian. Disadari bahwa hal tersebut hanyalah ulah oknum saja, namun ulah segelintir oknum tersebut nama baik Polri menjadi tercemar. Sekarang ini, pimpinan Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusi Polri. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat dan punya kemauan kerja, serta memiliki dedikasi yang tinggi. Sedangkan kekurangan Polri, adalah pengawasan secara internal. Kelemahan ini tergolong klasik, ada istilah ”jeruk makan jeruk”. Sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamin obyektivitasnya.

5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. Misalnya saja bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing stucture) kepolisian agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktur pengelolaan organisasi kepolisian dalam melayani masyarakat telah bergerak dari bentuk birokrasi (bureaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network), lagi-lagi masih mengalami berbagai ketimpangan.

6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan Kamtibmas.

7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana. Dalam perkembangannya kini semakin banyak persoalan yang muncul. Dalam faktanya hal tersebut telaha diatur dalam berbagai produk hukum, peraturan-peraturan, undang-undang publik, dan statuta. Peraturan-peraturan serta undang-undang tersebut dapat digunakan polisi untuk membantu memecahkan masalah. Peraturan-peraturan tentang bangunan, misalnya, dapat digunakan untuk menegakkan tindakan pencegahan kejahatan. Peraturan mengenai kebisingan suara dapat pula digunakan untuk menangani penyewa kamar yang susah diatur, peraturan mengenai kesehatan dapat digunakan untuk mencegah terlalu padatnya tingkat hunian dan mencegah peredaran narkoba.

8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, guna terwujudnya Kamdagri. Penerapan strategi tersebut antara lain adalah meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif.

9. Aspek Sikap Perilaku Anggota Polri. Masih banyaknya perilaku yang belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, penyayom dan pelayan. masyarakat Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus.


C. Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building

1. Pembinaan Terhadap Aspek Internal.

a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumberdaya Manusia. Pembinaan SDM khusus bagi petugas Polmas yang meliputi : 1) Rekruitmen, pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih maupun petugas Polmas. 2) Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya. 3) Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan. 4) Pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten. Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. 5), Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas. 6) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas. 7) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga setiap aktivitas penyajian layanan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Setiap anggota Polri seharusnya menunjukkan sikap dan perilaku yang respek dan senantiasa membangun hubungan yang harmonis. Meningkatkan kemampuan anggota kepolisian sehingga tercapai kinerja yang diharapkan. Proses tersebut melibatkan peran masyarakat sebagai mitra kepolisian.

b. Mengembangkan Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kebijakan) bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi yang plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. 1) Polmas yang dikembangkan dari pola tradisional seperti Model Siskamling seperti ronda kampung dan ronda kawasan pemukiman) . 2) Pemberdayaan Pranata Sosial seperti halnya dengan Jaga baya, jaga tirta, Pecalang, dan Pela gandong. 3) Melalui intensifikasi kegiatan fungsi Binmas Polri. penerangan, penyuluhan. 4) Patroli. 5) kegiatan pembinaan oleh fungsi teknis kepolisian. 6) penggalangan potensi komunitas. 7) pendidikan/pelatihan keterampilan Kamtibmas. 8) Koordinasi dan kerjasama kamtibmas. Polmas yang dikembangkan dari Pola Community Policing di Negara lain yang kini diadopsi di Indonesia meliputi : 1) Perpolisian masyarakat sesuai dengan Skep Kapolri No. Pol. :Skep/737/X/2005) yang terdiri atas komponen petugas Polmas, pembentukan FKPM, pembentukan Balai Kemitraan Polri-masyarakat. 2) Di Jepang yakni sistem Koban dan sistem Chuzaisho. 3) Kanada dan Amerika Serikat melalui Hot Spot Area dan Neighborhood Watch.

c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building. Dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. Bahwa secara teknis pengembangan teknologi kepolisian merupakan bagian dari unsur kualitas pelayanan kepolisian yang moderen dan akan memampukan institusi kepolisian untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.

d. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Guna keberhasilan Polmas maka harus didukung perubahan manajemen. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni yang layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat.) Selain itu layanan juga dilaksanakan oleh seluruh tingkatan, dengan kebijakan yang komprehensif. Perubahan manajemen Polri diarahkan untuk mendukung kebijakan Polmas, diarahkan untuk berkembangnya organisasi yang berdaya saing sehat, setiap individu diarahkan kepada penciptaan kesempatan melakukan perubahan baik karier maupun kehidupan pribadinya. Perlu langkah antisipatif terhadap penolakan perubahan manajemen bagi yang telah berada pada “zona aman”.

e. Mengembangkan Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja atau kegiatan tersebut. Mekanisme pengawasan dilakukan secara berkala, mencakup pengawasan internal organisasi Polri dan pengawasan yang dilakukan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat, media massa, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-lain. Sedangkan sistem penilaian (evaluasi) dilakukan pada setiap periode tertentu atau pada akhir program kerja dan didasarkan atas kriteria dan indikator keberhasilan program kerja yang jelas dan transparan.

f. Mengembangkan Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. Oleh karena itu, Polri harus mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan anggaran kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas publik oleh Polri. Sebagai bentuk akuntabiltas publik, pemimpin Polri dapat membangun mekanisme pertanggungjawaban setiap unit dari kesatuannya. Setiap unit di kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres dan Polsek) harus membuat laporan pertanggungjawaban yang menunjukkan tingkat pencapaian hasil berdasarkan perbandingan antara perencanaan dengan realisasi (program dan anggaran).

g. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima, pembenahan aspek mentalitas. Mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Sering terjadi secara kasuistis namun berdampak negatif akan adanya konsep pelayan masyarakat namun praktiknya perilaku feodal yang dipertontonkan. Dalam membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat pemaknaan pelayan yang sebenar-benarnya sebagai pelayan. Babinkamtibmas dengan mulut berbusa telah memberikan penyuluhan bahwa polisi telah berubah. Sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Nyatanya ketika warga berurusan dengan petugas reserse, masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif yang nyata-nyata melukai hati mereka.

h. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal tersebut sejalan dengan paradigma polisi yang berorientasi kepada kualitas pelayanan masyarakat. Indikator Keberhasilan perpolisian masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut-sertaan warganya. 2. Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah, 3. Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah termasuk konflik/pertikaian antar warga, 4. Kemampuan mengakomodir/menanggapi keluhan masyarakat. 5. Intensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas meningkat.
2. Pembinaan Terhadap Aspek Eksternal
a. Membangun Kepercayaan Masyarakat. Institusi kepolisian melakukan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi berkaitan dengan partisipasi masyarakat guna mengembangkan kemitraan dengan masyarakat terus dilakukan. Selain terkait dengan isu-isu Kamtibmas, Polmas juga terkait dengan isu-isu lain yang dibutuhkan masyarakat. Pada tingkatan dan kondisi tertentu, berhubungan dengan polisi diciptakan sebagai hal yang menyenangkan. diperlukan : 1. kecepatan dan ketepatan waktu dalam menangani masalah yang dihadapi masyarakat. 2. Tugas dan peran polisi tidak lagi dirasakan sebagai hal yang dikomersialisasi.
b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving) untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. Senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat terhadap gangguan kamtibmas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keberhasilan Polri membungkam berbagai kejahatan seperti judi dan premanisme, membuat citra Polri semakin menguat.
c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Ketertiban masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya.

d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder. Pemeliharaan Kamtibmas merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, Polri membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terkait (stakeholders) guna memelihara Kamtibmas. Dalam rangka pemeliharaan kamtibmas tersebut, Polri meningkatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti pemerintah daerah, DPRD, dunia usaha (private sector), media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan masyarakat. Dukungan stakeholders dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan masyarakat, media massa dan LSM terhadap perilaku personil Polri.

e. Mengembangkan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan Dan Sosialisasi. Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. Menciptakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Misalnya Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), Ulama Mitra Kamtibmas, Cendekia mitra Kamtibmas, dan sebagainya. Yang diperlukan bagi masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat - Polri melalui program kemitraan agar masyarakat tidak takut berhubungan dengan polisi, lebih berani memposisikan polisi dan masyarakat sebagai mitra.

f. Operasionalisasi Polmas. Kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen mencakup : a. Petugas pengemban Polmas di lapangan, antara lain memfasilitasi siskamling, memanfaatkan pertemuan warga dan kegiatan masyarakat seperti pertandingan sepak bola, konser musik, dan melakukan tatap muka dengan berbagai kelompok termasuk tokoh masyarakat, agama, pemuda , dan sebagainya.) b. Supervisor/pengendali Polmas, melalui 1) tatap muka dengan komunitas tertentu. 2) memberdayakan peran pranata sosial tertentu. 3) memfasilitasi kegiatan umum. 4) melakukan koordinasi dengan penyelenggara kegiatan demi mencegah terjadinya gangguan keamanan. 5) menghadiri/memfasilitasi forum diskusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. 6) memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan tertentu terkait dengan masalah Kamtibmas. C. Manajemen. Melakukan kegiatan : 1) koordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan sistem penanggulangan Kamtibmas. 2) konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan, perijinan, pengaturan, dan pembangunan dalam rangka pencegahan dan penaggulangan bencana alam.3) koordinasi dengan Pemda dan institusi terkait. 4) penentuan sasaran, metode dan prioritas penerapan program di wilayah dalam batas kewenangan jabatannya.

g. Mengembangkan Perilaku Terpuji. Di berbagai tempat tugas masih banyak ditemukan oknum polisi yang belum menyadari tugasnya. Sikap arogan dan seakan-akan kebal hukum berdampak negatif dalam era reformasi birokrasi. Dampak ulah negatif segelintir oknum, nama baik Polri menjadi tercemar. Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusinya. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat, punya kemauan kerja, dan memiliki dedikasi yang tinggi. Kekurangan aspek pengawasan secara internal tergolong klasik, munculnya istilah ”jeruk makan jeruk”, dimaknai sebagai sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamain obyektivitasnya. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif terlebih dalam mengembangkan perilaku teruji. Tugas tersebut terkait dengan kemampuan membawa anggota dan mempengaruhi masyarakatnya untuk menumbuhkan kepercayaan guna membangun kemitraan yang lbih efektif.



III. P E N U T U P

Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban tugas sejalan dengan visi dan misinya, sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta dalam penegakan hukum. Menjawab tuntutan masyarakat yang kini terus mereformasi diri ini Polri telah mencanangkan pembenahan institusinya dalam aspek struktural, instrumental dan kultural. Dalam pembangunan aspek kultural merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas kinerja kepolisian, sebagaimana yang diharapkan masyarakat yaitu profil polisi yang memiliki citra positif di masyaraka. Membangkitkan semangat dan motivasi masyarakat untuk bersedia menjadi mitra kepolisian. Dari berbagai kebijakan pimpinan Kepolisian dalam membangun kultur institusinya bila dicermati maka ada dua hal yang penting akan berdampak positif, hal tersebut adalah penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta peneraapan Polmas.
Mewujudkan pencitraan merupakan strategi yang efektif dalam membangun kepercayaan masyarakat (trust building). Kiranya akan menjadi sebuah kejanggalan bila hanya menuntut kesadaran masyarakat untuk percaya dengan polisi bila citra polisi tak lagi berkenan di hati masyarakat. Disadari bahwa kepercayaan yang tengah dan terus dibangun oleh kepolisian masih perlu dikembangkan terus-menerus. Bila disimak dari pemahaman dari aspek kultur maka akan semakin membuka wacana bahwa kultur terkait dengan nilai-nilai yang dilahirkan dari proses perilaku organisasi yang positif dan bermanfaat dalam keberadaan organisasi tersebut.
Dalam salah satu tuntutannya adalah bahwa setiap anggota kepolisian wajib memahami dan menerapkan kultur kepolisian baik dalam menegakkan hukum maupun melayani dan mengayomi serta melindungi masyarakatnya. Karena setiap anggota kepolisian merupakan kepanjangan tangan negara selaku aparat penegak hukum dalam tanggungjawabnya memelihara Kamtibmas. Sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan serta nilai-nilai dalam organisasi kepolisian inilah yang pada gilirannya diharapkan mampu menjadikan nilai-nilai dan kultur yang mampu merubah tampilan individu atau kelompok dalam suatu organisasi khususnya dalam institusi kepolisian yang profesional sebagaimana tuntutan masyarakatnya.
Membangun Kultur Polmas bagi Kepolisian di Indonesia merupakan upaya peningkatan kualitas kinerja dan profesionalisme guna mewujudkan kepolisian sipil yang demokratis. pembangunan aspek kultur yang terus bergulir antara lain melalui kebijakan dan strategi penerapan model perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas kepolisian. Keterkaitan dengan aspek strategi lainnya adalah bahwa kepolisian melalui grand Strateginya tahun 2005 sampai dengan 2010 salah satu sasarannya adalah membangun kepercayaan masyarakat.
Polmas sebagai salah satu paradigma baru di lingkungan organisasi kepolisian di negara Indonesia, dalam aplikasinya melalui kehadiran polisi di tengah masyarakat dengan cara lebih mengedepankan aspek-aspek preemtif dan preventif bukan lagi represif. Untuk mendukung kultur Polmas perlu dibangun kebijakan strategis yang sifatnya desentralisasi kewenangan pada unit Community Policing, serta adanya kewenangan. David H. Bayley berpendapat bahwa terdapat sistem tiga tingkat yang saling terkait erat. Kegiatan kepolisian komunitas ini merupakan kegiatan yang sistematis dan terprogram, seperti halnya Koban di Jepang, keberadaan pos polisi di semua tingkat kelurahan dapat dijadikan ujung tombak operasional perpolisian masyarakat.
Dengan demikian Polmas merupakan sistem baru yang merupakan sintesa kepolisian tradisional yang terdiri atas struktur, personil, dan pengendalian. Kebijakan membangun kultur kepolisian yang bersemangat kemitraan dengan masyarakat, diperlukan konsistensi, keteladanan dalam perilaku, serta biaya operasional serta tingkat kesejahteraan yang memadai, termasuk kontrol sosial serta partisipasi aktif masyarakat dalam kemitraan dimaksud. Langkah-langkah yang telah ditempuh ini merupakan keseriusan institusi kepolisian untuk membangun kultur polisi yang demokratis dan menegakkan HAM.
Dalam rangka pencegahan Kejahatan maka ; Polmas mempunyai falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal; Polmas mempunyai gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif bersama-sama dengan masyarakat; Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun sebab permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat. Tujuan Polmas bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat, menanggulangi kejahatan maupun masalah-masalah sosial lainnya yang ada dalam wilayah kerja anggota polisi bersangkutan.
Dari analisis terhadap kinerja kepolisian maka ditemukan berbagai factor yang berpengaruh seperti halnya : 1. Aspek Sumber Daya Manusia. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, hal ini berpengaruh dalam melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). 2. Aspek Kultur, Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas, perlu terus menerus ditanamkan sebagai landasan merubah kultur polisi yang mampu mendukung kepercayaan demi membangun kemitraan. 3.Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi dalam aspek mentalitas sebagai unsur dalam membangun kemitraan tersebut. 4. Aspek Perilaku terus dikembangkan sehingga perilaku aparat menjadi sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu terus dikikis dengan pencitraan polisi yang berubah kulturnya. 5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. 6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat, lebih banyak melibatkan masyarakat dalam memelihara Kamtibmas. 7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana semakin sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus menghendaki reformasi tersebut. 8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Dari tinjauan Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building, sebagaimana pengalaman empirik di berbagai Negara yang telah menerapkan Polmas, maka Polmas dapat dijadikan strategi dalam mewujudkan partnership building. Hal tersebut meliputi : Pembinaan terhadap Aspek Internal mutlak dilakukan secara proporsional melalui : a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia. Pembinaan SDM meliputi rekruitmen, pendidikan/pelatihan, untuk menyiapkan para pelatih Polmas, pembinaan karier, penilaian kinerja, pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten, meningkatkan sarana dan prasarana, menyediakan dukungan anggaran yang memadai, dan mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas. b. Membangun Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi. c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. d. Mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building, hal ini dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. e. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat. f. Membangun Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja tersebut. g. Membangun Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. h. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima dan pembenahan aspek mentalitas, sehingga mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. i. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kinerja yang lebih transparan dan akuntabel serta profesional.
Dalam rangka pembinaan terhadap Aspek Eksternal, diperlukan keseriusan komponen kepolisian melalui komitmen yang kuat untuk : a. Membangun Kepercayaan Masyarakat, terkait dengan isu-isu Kamtibmas dan isu-isu lain yang terjadi di masyarakat. b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan dan pemecahan masalah untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Kamtibmas merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder untuk memelihara Kamtibmas. e. Memberikan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan dan Sosialisasi. Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. f. Operasionalisasi Polmas, merupakan kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen. g. Membangun Perilaku Polisi Profesional. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif.
Pengembangan Polmas sebagai filosofi dan strategi dalam partnership building harus dilakukan secara bertahap : pertama, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pembentukan Polmas berikut sarana/ prasarana pada desa/kelurahan sesuai kebutuhan operasional sehingga kebutuhan penempatan petugas Polmas secara menyeluruh. Untuk mencapai tujuan penerapan Polmas maka diperlukan strategi. Kedua, membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial, media massa dan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan Polmas. Ketiga, membentuk FKPM sebagai wadah kerjasama polisi--masyarakat dalam operasionalisasi Polmas, termasuk membentuk Pusat Kajian Polmas guna mengembangkan evaluasi kinerja Polmas guna pengembangan model tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


Djamin, Awaloedin, 1999, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.

---------, 2004, Polri Pengamanan Swakarsa dan Community Policing.

Finlay Mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.

Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.

Hafidah, Noor, 2001, Membangun Sumber Daya Manusia Indonesia Dalam Perspektif Globalisasi, Bhayangkara PPITK, Jakarta.


Himpunan Teori / Pendapat Para Sarjana Yang Berkaitan Dengan Kepolisian, 2008,
PTIK, Jakarta.


Kadarmanta, A., 2010, Perpolisian masyarakat Dalam Trust Building, Forum Media Utama, Jakarta.


Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008, tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.


Pasis Selapa Polri Dikreg XXXVIII, Menyelamatkan Bangsa dari Narkoba dan Teroris melalui Polmas, 2007, Forum Media Utama, Jakarta.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 7 tahun 2008, tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas Polri.

Panduan Pelatihan Polmas untuk anggota Polri, tahun 2006.

Ronny Lihawa, Drs., Msi., Memahami Perpolisian Masyarakat (Polmas) Undersatanding Community Policing, Biro Bimmas Sdeops Polri, Jakarta.

Robins, Stephen P., 2005, Perilaku Organisasi, P.T Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.


Rahardjo, Satjipto, 1998, Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era Reformasi, makalah Seminar Nasional tentang Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi.

---------, 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT.Kompas-Gramedia.

---------, 2002, Polisi Sipil, Jakarta, Gramedia

--------, 2004. Pemolisian Komuniti (Community Policing) di Indonesia.

Suparlan Parsudi, 1997, Polisi dan Fungsinya dalam Masyarakat, Diskusi angkatan I KIK Program S2 UI.

---------, 1999, Makalah sarasehan "Etika Publik Polisi Indonesia", tanpa penerbit.

---------, 1999, Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat, Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis PTIK ke-53.

---------,2001, Kajian Ilmu Kepolisian, Partnership Governance Reform in Indonesia 23-24 oktober 2001.

Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Trojanowicz Robert, 1998, Community Policing: How To Get Started, co-authored with policing.com’s Bonnie Bucqueroux (Anderson Publishing, Cincinnati, OH.

Tabah, Anton, 2008, Bureaucracy Policing (pemolisian Birokrasi), CV. Sahabat , Klaten, Jawa Tengah.
Williams, Chuck, 2001, Manajemen, Salemba Empat, Jakarta.


Wren, Daniel A., 1994, The Evolution of Management Thought (Fourth Edition).


http://www.crossborderpartnerships.com/partnerships/guide- theoryparticipationladder.aspx

http://www.1000ventures.com/business_guide/partnerships_main.html

http://www.slideshare.net/NCPC/improving-policecommunity-relations-presentation

http://www.klikgalamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100407101306&idkolom=opinipendidikan
UPAYA MENGATASI STIGMA PECANDU DI MASYARAKAT)



1. PENDAHULUAN.

Latar belakang permasalahan. Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba telah menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat di negeri ini. Berawal dari dijadikannya sebagai tempat transit dalam mata rantai perdagangan gelap narkoba. Dalam perkembangannya Indonesia kini telah dijadikan tempat pemasaran, produksi dan eksportir gelap Narkoba, yang dilakukan oleh mafia Narkoba. Dengan jaringan yang didukung peralatan canggih.
Lebih memprihatinkan lagi adanya produsen yang melibatkan masyarakat yang terlilit kemiskinan. Sejumlah perempuan sebagai kurir peredaran gelap Narkoba, dengan modus operandi sebagai isteri kontrak oleh bandar Narkoba. Kondisi ini lambat laun akan merongrong eksistensi peradaban bangsa ini. Berdasarkan karakteristiknya kejahatan Narkoba ini telah mengancam ketahanan dan keamanan nasional. Bisnis ini telah menyeret semua bangsa ke berbagai persoalan kehidupan seperti sosial, ekonomi dan keamanan nasional.
Fenomena di atas mengindikasikan kejahatan Narkoba memanfaatkan kondisi kemiskinan dan kebodohan bangsa ini. Mudah dieksploitasi oleh pihak-pihak mafia. Membuat mudahnya masyarakat tergoda untuk menjajakan barang haram. Mudah terjerumus mencari jalan pintas, tak peduli terhadap pelanggaran hukum yang akan menyeretnya ke dunia kelam.
Disadari bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba dapat menimbulkan dampak negatif yang begitu luas di berbagai lini kehidupan. Baik kesejahteraan, perekonomian, sosial, politik, dan keamanan. Untuk itu kebijakan pemerintah dengan membangun institusi BNN, sangat relevan. Di sinilah letak tantangan bangsa beradab untuk memberantas Narkoba .
Korban kejahatan ini cenderung bersifat massal. Karakteristik kejahatan terhadap kepentingan publik menimbulkan daya rusak dahsyat. Kejahatan yang nyata-nyata merugikan Negara. Terlebih ketika komponen bangsa goyah integritasnya dan semakin tak berdaya menanggulangi dan merehablitasinya.
Menurut estimasi yang terjadi di dunia ini jumlah penyalahguna Narkoba dunia sebesar 5 % dari populasi penduduk dunia (kurang lebih 200 juta jiwa) dengan perincian) ; pertama, penyalahguna ganja 162,4 juta jiwa, kedua, Amphetamin Tipe Stimulant (ATS) yang terdiri Shabu, ekstasi dan amphetamine. 35 juta jiwa (terdiri dari shabu 25 juta jiwa dan ekstasi 10 juta jiwa), ketiga, kokain 13,4 juta jiwa, keempat, opiate 15,9 juta jiwa. UNODC (United Nation Office on Drug and Crime ) juga mengungkap bahwa estimasi jumlah perokok di dunia sebesar 28 % dari total populasi penduduk dunia. Peningkatan jumlah penyalahguna Narkoba akan meningkat.)
Bahaya Narkoba secara nasional sudah sangat memprihatinkan,) jumlah pemakai Narkoba pada tahun 1998 adalah 1,3 juta orang dan tahun 2001 menjadi 4 juta orang atau (2% dari jumlah penduduk). Dalam kurun waktu 3 tahun pemakai Narkoba meningkat 300%. Dari jumlah pemakai tersebut 80-90% adalah pada usia produktif yaitu 15-25 tahun. Sedangkan data BNN tahun 2008, jumlah kasus Kejahatan Narkoba pada periode berjalan, dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) tercatat sebesar 85.596 kasus dengan angka peningkatan rata-rata 22,3% per tahun. Sedang jumlah tersangka yang ditangkap dalam kurun waktu tersebut sebanyak 135.278 orang dengan rata-rata peningkatan per tahun sebesar 25,6% dimana sekitar 76,5 % pelaku termasuk golongan usia produktif (16-40 tahun).
Berdasarkan barang bukti Narkoba yang berhasil disita, dalam periode berjalan 2005-2008, antara lain : Jenis Narkotika, daun Ganja 206.927.300,1 gram, Pohon Ganja 3.633.761 batang, Hashish 5.761,4 gram, Heroin 65.638 kg, Kokain 2.902 gram. Jenis Psikotropika , Ekstasi 2.988.498 tablet, Shabu 3.370.660,7 gram, dan Daftar G 11.800.972 tablet.
Salah satu masalah terbesar dari penyalahgunaan Narkoba adalah penyebaran penyakit seperti : Hepatitis A, Hepatitis B, virus HIV/AIDS dan penyakit lainnya. Penyebaran penyakit itu dewasa ini secara luas dan cepat oleh adanya penggunaan Narkoba suntik tidak steril (intervena drug user’s—IDU’s). Terjadi epidemi ganda Narkoba dan HIV/AIDS.
Kejahatan Narkoba telah menjadi lahan bisnis sindikat dunia dan tak terpisahkan dari kejahatan internasional. Para pelaku seakan tak mengalami efek jera. Secara keseluruhan jumlah terpidana mati kasus Narkoba di Indonesia adalah 72 orang yang divonis oleh berbagai Pengadilan Negeri (PN). )
Seperti perdagangan obat-obatan terlarang (drugs trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan manusia (trafficking in persons), dan sejenisnya. Perdagangan gelap Narkoba merupakan primadona bisnis kejahatan lintas batas Negara (transnationalcrime).
Konvensi PBB) , telah mengamanatkan tentang pembentukan The International Narcotic Control Board. Badan yang bertugas membatasi kegiatan produksi, distribusi, manufaktur dan penggunaan obat bius kecuali untuk keperluan di bidang pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Negara-negara anggota PBB mendukung kebijakan tersebut menitikberatkan pada sistem kontrol yang lebih ketat terhadap perdagangan obat-obat kimia dan farmasi.)
Sedangkan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988 merupakan titik puncak untuk memberantas pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotik dan psikotropika. Setiap Negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut wajib melakukan kriminalisasi pencucian uang melalui peraturan perundang-undangan. Kenyataannya barang haram tetap saja beredar dengan cepat dan semakin meluas.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2002, BNN menjadi ujung tombak pencegahan dan pemberantasan Narkoba di Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh lembaga ini, masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Penyebarannya telah sampai pada batas-batas yang mengkhawatirkan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.
Negeri ini kini bukan lagi sebagai transit, tetapi sasaran pemasaran, dan tempat produksi Narkoba oleh jaringan sindikat internasional.) Secara empirik, para penyalahguna Narkoba akan mengalami penyimpangan perilaku. Mulai dari instabilitas emosi, ketagihan, sakaw, tak mampu mengendalikan diri. Semakin tak mampu berpikir kritis, dan hidup disiplin. Over dosis dan kematian menjadi ancamannya. Perilaku mereka tertuju kepada pemenuhan Narkoba, dengan berbagai cara. Demi mendapatkan narkoba, tak jarang mereka mencuri, menjambret, menodong, merampok, bahkan menjual dirinya. Desakan inilah yang berdampak pada kriminalitas.
Perubahan perilaku pecandu dapat diindikasikan anak yang rajin sekolah dan berprestasi berubah menjadi pembolos dan penurunan kemampuan akademisnya. Dari penurut menjadi pemberontak, jujur menjadi pembohong, hemat uang menjadi pemboros dan seterusnya. Ujung-ujngnya akan menggerus karakter manusia. Menurut Colondam, penyebab kecenderungan pribadi yang membuat menjadi pecandu adalah, ikut-ikutan, dorongan diterima teman sebaya, sulit menolak ajakan teman, dan ingin tampil lebih keren. Mereka akan semakin menjauh dari nilai-nilai kejujuran, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, kehormatan serta martabat diri.

Keterpurukan terus merambat seiring dengan perilaku menyimpang ini. Warga bangsa akan menjadi rendah diri dalam pergaulan internasional. Semakin parah lagi hilangnya kepercayaan dunia. Gilirannya bangsa yang lemah dan selalu dijadikan sasaran empuk distribusi perdagangan gelap Narkoba dunia. Dampaknya akan lebih membuat terpuruknya para pecandu adalah stigma pecandu di masyarakat, negatif dan cenderung digeneralisasi. Setiap pecandu sebagai orang lemah, jahat, kriminal, dan bahkan sampah masyarakat. Kalangan masyarakat tidak sedikit yang menolak dan mengucilkannya. Meski mereka adalah korban yang butuh pertolongan bahkan nyata-nyata mereka sudah mengalami terapi dan rehabilitasi hingga sembuh total, dan sudah bertobat sekalipun. Tumbuhnya keresahan, dan hilangnya kepedulian masyarakat, terhadap merajalelanya penyalahguna Narkoba, semakin banyak pecandu. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab tumbuhnya stigma pecandu di masyarakat.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok adalah : “Bagaimanakah mengatasi stigma Pecandu di Masyarakat?” dari permasalahan pokok ini, terdapat beberapa persoalan yakni : pertama, Bagaimanakah kondisi pandangan masyarakat terhadap stigma pecandu narkoba saat ini?. Kedua, Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh dalam pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba? Ketiga, Bagaimanakah kondisi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba yang diharapkan? Keempat, upaya-upaya apakah yang perlu dilakukan untuk mengatasi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba?





II. PEMBAHASAN

Stigma pecandu merupakan bagian dari stigma social. Cenderung mengarah kepada marjinalisasi sehingga orang yang berbeda dari mayoritas masyarakat, dipinggirkan. Ini bisa berarti bahwa mereka memiliki keterbatasan akses seperti pendidikan, layanan kesehatan atau tinggal di tempat yang kurang baik. Stigma ini mencakup sikap terhadap kekurangan dan kelainan fisik atau mental serta ilegalitas, misalnya saja homoseksualitas, agama atau etnis tertentu, dan pecandu. Kriminalitas juga membawa stigma sosial yang kuat. Stigma pada umumnya ditemui dalam 4 bentuk ; pertama, stigma yang berdasarkan ciri-ciri luar (penyakit) seperti menderita lepra, kusta dsb. Stigma juga mencakup orang dengan predikat sebagai penyandang penyakit HIV/AIDS. Kedua, Stigma berdasarkan pada sifat atau perilaku pribadi yang tidak diinginkan di mata budaya dominan seperti penjahat, pekerja seks, transgender dan pecandu narkoba. Ketiga, stigma tribal yang berdasarkan pada keanggotaan dalam kelompok tertentu misalnya ras, bangsa, atau agama yang berbeda dari ras yang dominan, kewarganegaraan atau agama. Keempat, Self stigma. Orang-orang yang dari ketiga kelompok diatas menarik diri dari kehidupan mayoritas karena fakta bahwa mereka men-stigma diri sendiri. Mereka telah menduga adanya reaksi negatif dari masyarakat mengenai karakterisstik tertentu. Misalnya homoseksualitas menarik diri sebagai antisipasinya.
Pengertian stigma pecandu, adalah serangkaian gagasan dan keyakinan yang menghubungkan kondisi kecanduan narkoba dengan perilaku seseorang atau kelompok yang dianggap negatif oleh masyarakat. Misalnya pecandu narkoba seringkali dikaitkan dengan kejahatan, kehancuran masa depan bangsa. Stigma pecandu adalah muatan sosial negatif’ yang dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Untuk lebih memahaminya, mari kita berpikir tentang flu. Hampir tidak ada orang yang malu atau khawatir untuk mengakui bahwa ia menderita flu karena tidak ada muatan sosial negatif yang dikaitkan dengan penyakit tersebut. Tetapi jika seseorang dapat tertular flu karena penyimpangan seksual, maka akan lebih sulit bagi orang untuk mengakui bahwa mereka menderita flu.
A. Kondisi Pandangan Masyarakat Terhadap Stigma Pecandu Narkoba Saat ini.
Pertama, pandangan masyarakat terhadap pelaku kejahatan pada umumnya sinis, dan skeptis. Misalnya saja terhadap residivis, eks tahanan politik, termasuk pecandu narkoba. Pengalaman empirik menegaskan bahwa pecandu narkoba merupakan korban yang diberikan stigma sebagai kriminal. Simak saja perundang-undangan yang berlaku kebanyakan menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada pecandu. Kedua, masih rendahnya kepedulian terhadap pecandu. Pengalaman yang berkembang di masyarakat, pada umumnya menutup diri untuk bergaul dengan pecandu meskipun mereka telah sembuh dan bertobat. Bahkan memiliki keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat. Khalayak belum bisa menerima sepenuhnya. Ketiga, stigma pecandu sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas. Pecandu selama ini hanya mendapatkan stigma hingga sebagian menganggap sebagai sampah masyarakat yang harus disingkirkan, dipenjara atau bila perlu dihapuskan dari muka bumi ini. Selama ini masyarakat banyak yang berpikiran bahwa pecandu pasti pernah melakukan tindakan kriminal. Atau suatu ketika, nanti, besok atau kapan saja di mana saja pecandu akan melakukan tindakan yang melanggar hukum. Keempat, pecandu belum sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan pecandu yang memadai. Kurang lebih 30 s/d 40 % penjara di seluruh Indonesia kebanyakan kasus narkoba dan tidak tertutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat jika pemerintah, aparat dan pihak-pihak terkait tidak segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. Kelima, perlakuan yang diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu sangat rentan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Apalagi, ketika harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Stigmasisasi dan diskriminasi merupakan hal lumrah yang harus diterima. Berdasarkan data yang diterima oleh Yayasan Kesehatan Bali sampai dengan pertengahan Desember 2007, sebanyak 39 orang korban penyalahgunaan narkoba pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari aparat penegak hukum. Hasil sebuah penelitian terhadap 115, mantan pecandu, 35 orang diantaranya atau 33,3 persen dari jumlah responden mengakui pernah mendapat kekerasan fisik dari aparat. Kekerasan fisik ini, seluruhnya dilakukan oleh penyidik. Polisi dalam melakukan penyidikan pecandu narkoba justru lebih didominasi pendekatan keamanan berupa penganiayaan secara fisik. Keenam, stigma negatif terus berkembang. Pencandu narkoba, sekeras apa pun dia berusaha, tidak bisa sepenuhnya sembuh. Mereka selalu identik dengan kekerasan, bertingkah seenaknya, mengganggu orang lain, dan merusak. Bahkan dicap sebagai sampah masyarakat. Stigma negatif itu yang akhirnya kembali membuat mantan pencandu narkoba kembali terpuruk. Mereka kembali terbenam dalam gelimang narkoba. Bahkan ada yang lebih parah dari sebelumnya. Sebagian besar penyebabnya adalah sikap orang-orang di sekitar mereka yang memberi stigma kepada mantan pecandu. Apalagi jika itu dari orang-orang terdekat, dari keluarga dan saudara yang sering menunjukkan rasa kurang percaya pada mereka akibat stigma yang mereka miliki.
Simak saja kasus ini :. “Seorang pemuda yang sedang menunggu bandar narkoba di gereja. Saat itu dia bersama teman-temannya yang sedang dalam masa rehabilitasi, diundang untuk kebaktian dan bersaksi di gereja. Tapi dia bisa lolos, karena jumlah mereka belasan sementara pengawasnya cuma beberapa orang. Awalnya pecandu tersebut berkali-kali minta ijin untuk ke toilet. Sang pembina curiga lalu mengikutinya. Ternyata ada seseorang yang sedang menunggunya di salah satu ruang closed di toilet. Dia memang tidak punya uang, tapi kalau dia bisa menjual 3 dia akan dapat 1 gratis.) Ketujuh, sebagai dampak penerapan Undang-Undang Narkotika yang berlaku saat ini di negeri kita adalah perlakuan penegak hukum kepada pengguna. Mereka ditempatkan sebagai penjahat, bukan korban. Vonis yang dijatuhkan pidana penjara.

B. Faktor-faktor yang berpengaruh bagi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tumbuhnya stigma masyarakat terhadap pecandu. Perlunya menganalisis factor-faktor guna menentukan langkah-langkah upaya :
1. Kekuatan, pertama, Adanya lembaga pemerintah dan LSM yang memiliki kepedulian untuk melakukan terapi dan rehabilitasi lepada para pecandu Narkoba. Kedua, adanya upaya-upaya preventif yang sudah dilakukan oleh BNN dan pihak kepolisian. Namun upaya seperti itu saja sepertinya tidak membuat masalah menjadi selesai, ketika informasi dan edukasi mengenai pencegahan narkoba gencar-gencarnya disosialisasikan toh tetap saja stigma dan diskriminasi bagi pecandu tetap saja berlaku.
2. Kelemahan, pertama, sikap masyarakat yang tertanam kebencian kepada pelaku kejahatan narkoba. Ironisnya solusi terakhir yaitu penjara malah menjadi ajang tempat peredaran narkoba yang aman. Misalnya saja kasus yang terjadi di Lapas Kerobokan, ketika sipir penjara yang seharusnya sebagai pembina dan panutan oleh warga binaan Lapas malah menjadi pengedar narkoba. Lagi-lagi pecandu bukan diberi solusi untuk pulih, menjadi jera dan tobat, tapi justru lebih terjerumus. Kedua, Stigma masyarakat yang kuat terhadap pecandu kurang mendukung proses pemulihan terutama dalam penerimaan mantan pecandu setelah selesai masa terapi dan rehabilitasi. Ketiga, Perilaku aparat institusi pemerintah yang masih kurang manusiawi dalam memperlakukan pecandu sebagai korban. Keempat, Banyak keluarga yang mengucilkan anggota keluarganya yang menjadi korban pecandu.

3. Peluang, adanya berbagai dukungan dari organisasi swadaya masyarakat yang peduli terhadap para pecandu narkoba. Dengan membuka panti terapi dan rehabilitasi. Prinsip-Prinsip Terapi dan Rehabilitasi yang lazim digunakan: pertama, adanya program pemulihan dan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Kedua, adanya peluang pemenuhan kebutuhan pengobatan yang tersedia. Karena tiap individu yang kecanduan Narkoba dapat terjadi mendadak. Tersedianya program pemulihan / pengobatan bagi mereka yang sedang dalam kondisi kritis. Ketiga, tersedianya berbagai program pemulihan yang mampu menjawab semua kebutuhan individu, baik masalah ketergantungan narkoba, maupun kebutuhan medis, psikologis, sosial, vokasional dan hukum. Keempat, adanya pengobatan dan pelayanan perorangan berkelanjutan dan telah disesuaikan dengan perubahan kepribadian tiap pecandu. Kelima, adanya fasilitas untuk tetap tinggal dalam lingkungan terapi dan rehabilitasi dalam jangka waktu yang relatif panjang, merupakan pendukung efektifitas pemulihan. Keenam, Tersedianya tenaga konseling pribadi & kelompok serta terapi prilaku lainnya. Ketujuh, Pecandu yang mempunyai penyakit mental harustelah tersedia fasilitas pengobatan untuk adiksi dan penyakit mentalnya. Kedelapan, tersedianya program detoksifikasi medis sebagai tahap pertama dari pengobatan kecanduan serta proses lain untuk mengubah pecandu yang telah bertahun-tahun tergantung pada Narkoba. Sangat aman dalam menangani gejala psikis yang akut atas sakaw saat menghentikan penggunaan Narkoba. Kesembilan, tersedianya berbagai tenaga sukarela untuk pengobatan. Kesepuluh, adanya pemantauan terhadap kemungkinan kambuh di masa perawatan. kesebelas, adanya program pengobatan sebaiknya dilengkapi dengan pencegahan untuk IV / AID, Hepatitis B & C, TBC dan penyakit infeksi lainnya. Keduabelas, Indonesia negeri agamis, sangat memungkinkan membangun kesadaran dari aspek religius untuk menerima sesama manusia yang sedang jatuh dalam penderitaan. Sebagai korban yang sangat membutuhkan pertolongan.

4. Kendala, pertama, adanya pengaruh tekanan dari masyarakat terhadap pecandu narkoba. Sikap sinis dan menolak kehadiran mereka di tengah masyarakat menjadi penyebab kembalinya menjadi pecandu. Indonesia sebagai produsen narkoba kelas kakap yang mengekspor narkoba gelap ke berbagai Negara. Kedua, Suburnya tempat transaksi narkoba seperti Diskotik, pub, hotel, apartemen, mall atau tempat pelayanan umum lainnya. Ketiga, Bahwa tingginya pemakaian Narkoba suntik memicu peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS. Pada kasus kejahatan Narkoba di Indonesia, pada tahun 2002, dari 110.000 orang pengidap HIV/AIDS, 42.000 di antaranya adalah pengguna narkoba suntik.) . Keempat, masih lemahnya UU No.22/1997 tentang Narkotika, yaitu pada Pasal 5. “Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya”. Pasal ini menegaskan bahwa semua orang dilarang mengkonsumsi narkotika yang termasuk dalam daftar nama-nama narkotikan golongan I, dan di UU ini seperti heroin, kokain, ganja. Pasal 78 ayat (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : point a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman Atau point b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Orang yang mengkonsumsi narkotika pasti ada saat-saat membawa dan menyimpan narkotika sebelum dikonsumsi. Jadi pasal ini menegaskan bahwa hanya membawa dan menyimpan narkotika bisa dikenai hukuman penjara. Mestinya ada batasan/ukuran narkotika yang dibawa bisa dikategorikan sebagai perbuatan kriminal dan peruntukannya. Pasal 82 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi UU No. 5/1997 tentang Psikotropika. Pasal 62 :Barang siapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 59 ayat (1): Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau. b. mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
c. mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu Pengetahuan; atau d. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal ini justru lebih parah, karena menyamakan hukuman terhadap konsumen psikotropika dengan pengedar dan produsen. Kelima, Terpuruknya kondisi ketahanan bangsa akibat lemahnya karakter bangsa, berimbas keberbagai aspek kehidupan. Penegakan hukum lemah, keadilan semakin punah, kejujuran semakin enyah, hegemoni semakin menguat dan semangat bangsa pembelajar semakin rendah. Kondisi inilah yang sangat subur untuk sasaran distribusi gelap Narkoba. Adabya pengaruh perdagangan gelap Narkoba yang merambahi berbagai lini kehidupan hingga warga bangsa semakin banyak menjadi pecandu. Keenam, Salah satu sebab membengkaknya jumlah pengguna narkotika di lembaga pemasyarakatan adalah tidak diterapkan secara penuh UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan pasal 44 UU itu, para hakim seharusnya memutuskan pidana bagi pengguna narkotika seharusnya dikirim ke panti rehabilitasi bukan ke lembaga pemasyarakatan. Sesuai UU, hakim dapat menjatuhkan pidana bagi para pengguna narkotika dan obat terlarang (Narkoba) untuk dirawat di panti rehabilitasi. Berdasarkan catatan Dephukham, keputusan itu pernah terjadi di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Namun, terpidana pengguna narkotika di pengadilan itu akhirnya tak jadi dikirim ke panti rehabilitasi dan kembali ke Lapas di Yogyakarta. Jumlah penghuni Lapas di Indonesia mencapai 112.744 orang. Dari jumlah tersebut, 24.371 adalah pecandu Narkoba. Sebanyak 7.055 di antaranya adalah pengedar Narkoba dan 641 penghuni lain yang dijebloskan ke Lapas saat ini adalah produsen Narkoba. Ketujuh, Menurut Baudrillard manusia senantiasa menghamba pada hawa nafsu serta menampakkan kecenderungan pada bentuk-bentuk amoral. Hal itu terjadi karena eksistensinya amat dipengaruhi oleh sikap penolakan akan segala bentuk penilaian moral. Mengendurnya nilai moralitas dan merosotnya nilai spiritual itu membuka jalan bagi berkembangnya berbagai bentuk penyimpangan yang merupakan artikulasi dari keinginan untuk keluar hal normatif. Kondisi seperti inilah yang menjadi ciri-ciri rapuhnya karakter manusia. Akibatnya, mereka terseret oleh dan bahkan terjebak masuk kedalam budaya konsumtivisme. Kedelapan, Indonesia yang merupakan bangsa terbesar keempat dunia. Sebagai lahan strategis bagi pangsa pasar perdagangan gelap Narkoba. Dampak negatif Narkoba, selain berakibat buruk pada kondisi fisik dan psikis, distorsi terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental yang kurang siap mengarungi samudera kehidupan global yang sarat tantangan ini. Kesembilan, Korban (pecandu) narkoba telah memiliki kebiasaan menyimpang sejak usia sekolah dasar (SD) (dari 60%). Kebiasaan itu antara lain, suka membolos, merokok, suka mencuri uang orang tua, dan tidak bisa duduk tenang di kelas selama kegiatan belajar berlangsung. Untuk itu, lanjutnya, para orangtua jangan terlalu toleran atau bersikap terhadap penyimpangan perilaku anak-anaknya tersebut. Celakanya masalah itu kerap dilegitimasi sebagai pencarian jati diri pada si anak. Dalam kasus ini, orangtua menjadi titik kunci. Telah terjadi banyak kasus di mana mencegah lebih baik daripada mengobati. Kesadaran orangtua dalam menyikapi penyimpangan perilaku sangat berperan penting, bahkan perlu ditingkatkan. Orangtua kadang juga belum memahami fungsi rumah sebagai pusat rujukan anak. Kesepuluh, para pecandu, cenderung menjadi korban pengasingan oleh keluarganya. Sebesar apa pun keinginan untuk sembuh bakal sia-sia lantaran korban cenderung terasing dan kesepian. Si anak kebanyakan merasa terbebani dosa pada masa lalunya. Kesebelas, WHO (2002) mengakui adiksi sebagai sebuah penyakit kronis yang sering kambuh (chronically relapsing disease). Untuk itu, perawatan dan rehabilitasi jangka panjang (lebih dari enam bulan) dibutuhkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan, perawatan dan rehabilitasi saja tidak cukup, dibutuhkan program purnarawat yang jangka waktunya bisa lebih dari enam bulan. Para ahli sepakat, pencandu narkoba mempunyai masalah medis, psikologis, dan sosial yang serius. Tindakan para pencandu memang merugikan masyarakat, karena tidak memperoleh perawatan dan rehabilitasi. Kasus Roy Marten dan banyak pencandu lainnya, yang mereka alami adalah kriminalisasi, pemenjaraan, dan stigmatisasi masyarakat. Bukan perlakuan terhadap korban. Keduabelas, Musuh masyarakat cenderung kepada pencandu, seharusnya produsen dan pengedar. Statistik Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pencandu (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Penjara seolah menjanjikan adanya detoksifikasi dengan model kalkun dingin (cold turkey), yaitu tanpa bantuan zat/obat. Namun, dengan maraknya peredaran narkoba di penjara, detoksifikasi pun tidak mungkin. Tindakan selanjutnya, yaitu perawatan dan rehabilitasi, jelas tidak dapat terpenuhi di dalam penjara karena programnya tidak dirancang khusus untuk itu. Akibatnya, banyak pencandu yang sakit, ketularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan meninggal.


C. Kondisi pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba yang diharapkan.

Pertama, pandangan masyarakat terhadap pecandu Narkoba kondusif dan kooperatif. Melalui sisi kemanusiaan masyarakat mampu memandang dan memperlakukan pecandu. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Perundang-undangan yang berlaku mengakomodasi pecandu sehingga mereka tidak akan dijatuhi hukuman vonis penjara namun terapi dan rehabilitasi. Kedua, meningkatnya kepedulian terhadap kondisi pecandu. Tumbuhnya semangat masyarakat untuk membuka diri terhadap pecandu dan mantan pecandu. Sanggup menerima mantan pecandu yang telah memiliki keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat. Berkurangnya kemunafikan masyarakat. Ketiga, adanya perubahan stigma atau julukan sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas. Masyarakat mampu berpikir dan berperasaan terhadap pecandu bukan pelaku kriminal. Keempat, Korban pecandu sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan yang memadai. Penjara di seluruh Indonesia tidak lagi dihuni oleh kasus pecandu narkoba. Pemerintah, aparat dan pihak-pihak terkait segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. Tindakan yang lebih edukatif dan konstruktif. Kelima, perlakuan tidak diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu narkoba sangat rentan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Seluruh aparat pemerintah terkait harus menegakkan hak asasi manusia. Dengan mempelopori penghapusan stigma pecandu Narkoba. Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pecandu narkoba tidak didominasi dengan pendekatan keamanan berupa penganiayaan secara fisik. Keenam, memupus stigma negatif. Meyakini bahwa pencandu narkoba, dengan bimbingan yang professional melalui terapi dan rehabilitasi, maka akan mampu pulih dan masyarakat siap menerimanya. Dalam rangka menciptakan kondisi guna mendukung mantan pencandu narkoba untuk hidup normal. Membangkitkan semangat percaya diri. Ketujuh, sudah direvisinya Undang-Undang tentang Narkotika, sehingga perlakuan penegak hukum kepada pengguna atau pecandu tidak lagi ditempatkan sebagai penjahat, namun korban yang harus dilindungi dan disembuhkan. Kedelapan. Diefektifkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung tanggal 17 Maret 2009 tentang Permintaan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi agar putusan hakim terhadap para pecandu diarahkan untuk perawatan di tempat rehabilitasi.
D. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mengatasi Stigma Pecandu Narkoba.
1. Dari Aspek Institusi/aparat Negara
Pertama, BNN melakukan koordinasi dengan seluruh institusi terkait untuk mengusulkan pemberian diskresi kepolisian. Diskresi diperuntukkan dalam pengusutan korban narkoba, untuk tidak diperlakukan seperti tersangka. Kebijakan diskresi oleh penyidik perlu dikembangkan, mengingat polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana, dengan tujuan yang lebih luas demi kemanusiaan pecandu sebagai korban. Mereka yang bukan pengedar atau Bandar atau produsen gelap narkoba. Kedua, Harus ada upaya konsisten untuk memutus mata rantai peredaran narkoba," oleh seluruh aparat pemerintah bersama komponen masyarakat. Guna mencegah merajalelanya narkoba gelap, yang berujung semakin meningkatnya korban sebagai pecandu. Ketiga, Mengembangkan kemampuan anak untuk menolak narkoba
oleh institusi pendidikan. Memberitahu kepada setiap anak didik mengenai haknya melakukan sesuatu yang cocok bagi dirinya. Jika ada teman yang memaksa atau membujuk, ia berhak menolaknya. Membimbing anak mencari kawan sejati yang tidak menjerumuskannya. Mengajarkan kepada anak didik mengenai bahaya narkoba dengan menggunakan nalar sehat. Mengajarkan anak menolak tawaran memakai narkoba. Keempat, mendukung kegiatan anak yang sehat dan kreatif lembaga pendidikan memberikan dukungan terhadap kegiatan anak di Sekolah, berolahraga, menyalurkan hobi, bermain musik. Kelima, Membuat aturan perundangan dan dengan komitmen yang kuat dilaksanakan dalam rangka membangun tata kehidupan masyarakat yang haronis. Aturan tersebut dituangkan dalam perundangan tentang pecandu narkoba bukan lagi dikategorikan sebagai kriminal/pelaku kejahatan namun sebagai korban yang membutuhkan pengobatan, terapi dan rehabilitasi. Keenam, memberikan perlindungan terhadap korban tersebut, dan menjatuhkan sanksi bagi masyarakat yang membiarkan dan dengan terang-terangan terbukti memberikan stigma. Mahkamah Agung meminta hakim tak menjatuhkan hukuman pidana penjara terhadap para pemakai narkoba. Ketujuh, menerapkan secara efektif Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung, tanggal 17 Maret 2009 tentang Permintaan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi agar putusan hakim terhadap para pecandu narkoba berupa pengobatan atau perawatan di tempat rehabilitasi. Kedelapan, Treatment & Rehabilitasi. Dilakukan oleh lembaga pemerintah dan swasta untuk memberikan dukungan pengobatan dan perawatan bagi pecandu Narkoba. Untuk itu perlu pertama, meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan dan tenaga terkait dalam penanggulangan Narkoba, khususnya dalam bidang treatment dan rehabilitasi. Kedua, meningkatkan mutu pelayanan treatment dan rehabilitasi. Ketiga, meningkatkan kualitas hidup para pecandu Narkoba. Keempat, penelitian dan pengembangan program Treatment dan rehabilitasi, khususnya Harm Reduction (Substitusi obat, Needle Exchange, ) Kesembilan, Penanggulangan over dosis. Lembaga pemerintah dan suasta yang berkecimpung di bidang penanggulangan Narkoba diberikan penyuluhan hingga mampu menangani kasus over dosis. Overdosis bisa terjadi pada pemakai baru ataupun pemakai yang sudah bertahun tahun. Kesepuluh, Mengatasi Overdosis Putaw. Untuk mengatasi si pecandu dalam kondisi overdosis yaitu mengusahakan dalam keadaan yang tenang jika kita menemukan atau menghadapi masalah dengan orang yang overdosis. Mengecek kesadarannya, lihat apakah orang itu masih sanggup untuk berbicara dan membuka mata, dan menggoyangkan badannya dan memanggil namanya. Cek nadi dan nafas apakah masih berfungsi atau berjalan sebagaimana mestinya. Jika orang itu hilang kesadaran, coba untuk membangunkannya dan mengajak berjalan dan jika perlu kita memapah mereka dan terus mengajak berbicara kepada korban. Sangatlah penting menjaga agar si pecandu tetap sadar. Jika orang itu berhenti bernafas sesegera mungkin untuk melakukan cara yang bisa kita lakukan sendiri seperti membuat nafas bantuan dan kalaupun kita tidak bisa segeralah menelpon atau menghubungi rumah sakit terdekat. Jangan pernah meninggalkan seseorang dalam keadaan overdosis dan segera panggilkan bantuan. Kesebelas, Mengatasi Over Dosis Stimulan. Untuk mengatasi overdosis dari pemakaian segala macam jenis Narkoba yang digunakan baik itu stimulan ataupun depresan. Bika menemukan atau berhadapan dengan orang yang mengalami hal ini, diusahakan dengan keadaan tenang menghadapi orang yang mengalami overdosis. Khususnya pada pengguna jenis drugs yang tergolong dalam stimulan. Jika orang tersebut tidak sadarkan diri, coba untuk menggoyangkan badannya dan memanggil namanya berkali-kali. Pada dasarnya yang terpenting harus segera menghubungi pihak yang benar-benar ahli dalam masalah ini, seperti rumah sakit terdekat. Keduabelas, Rehabilitasi merupakan tahapan penting bagi pecandu Narkoba untuk lepas dari ketergantungan Narkoba. Pemulihan merupakan proses panjang dan sering diibaratkan perjalanan dari pikiran (adiktif) ke hati. Program ini dikenal sebagai proses pemulihan yang menekankan konversi hati dan perubahan internal. Ketigabelas, adanya bentuk-bentuk kegiatan pendukung yang kondusif. Kegiatan tersebut seperti; Support Group, untuk memberikan penguatan kepada mantan pecandu. Peer Support, terhadap mantan pecandu. Family Support, dukungan untuk keluarga pecandu dengan memberikan informasi mengenai adiksi, HIV/AIDS, rujukan, dll. Program penjangkauan yang telah dilakukan untuk menjangkau pecandu aktif dengan memberikan materi jarum steril dan pendampingan methadone. Tujuannya untuk tetap memantau perubahan perilaku teman-teman yang sudah mengikuti program substitusi oral ini. Drop in centre. Tempat singgah untuk teman-teman IDU. Bisa bermain musik, support group, konseling, pelayanan kesehatan dasar, dan mencari informasi tentang rujukan detoks, rehab, methadone, RS, ataupun informasi yang berhubungan dengan dunia adiksi. Keempatbelas, menyelenggarakan program After Care (AC). Program ini dimaksudkan untuk membantu menciptakan kondisi yang mendukung mantan pecandu sehingga tidak mudah lagi jatuh kea lam penyalahguna narkoba.

2. Unsur Mantan Pecandu.
Mantan pecandu dapat melakukan di tingkat pribadi dalam menghadapi stigma melalui : Pertama, dapat mengabaikannya dan melanjutkan hidupnya. Kedua, dapat menghindari pembahasan terkait dengan masalah pecandu. ketiga, dapat mencari teman, mentor, atau seseorang yang dapat memberi anda dukungan spiritual. Menghubungi LSM untuk pemberdayaan dan pembelaan hak asasi manusia. Keempat, dapat membuat buku harian dan mencatat pengalaman yang dirasakan dalam pengalaman tersebut. Kelima, dapat bergabung dengan kelompok relawan yang siap memberikan dukungan. Keenam, dapat menentangnya, jika terdapat ancaman kesehatan fisik. Dengan mempertentangkan fakta dengan apa yang dikatan orang tersebut. Ketujuh, Saling bertukar ide, pengalaman dan saling mendukung diantara sesama mantan pecandu.
Sedangkan menurut Tony Trimingham untuk mencapai sukses bagi mantan pecandu perlu melalui tahapan yang dikenal dengan Stepping Stones To Success. Tahapan tersebut diawali dengan penolakan, - kekhawatiran, - perasaan bersalah, - malu/stigma/aib, - terisolasi, - dukacita, - marah, - bertanya mengapa, tanggungjawab, - menceritakan kisahnya, - keluarga/teman relasi menguatkan, - harga diri, - butuh informasi, - dukungan jaringan, - kepercayaan, - timbulnya perasaan bertentangan, - meninggalkan atau menyerahkan, -komunikasi, - kehidupanmu/kehidupan mereka, - mendukung bukan menolong, dan akhirnya sukses.

2. Unsur Masyarakat. Diberikan pemahaman untuk merubah stigma demi kesanggupan menerima pecandu yang telah siap kembali ke masyarakat. Bahwa pencegahan merupakan usaha terbaik dalam menghadapi merebaknya penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Diyakini, pendidikan budi pekerti, kesehatan, hukum, agama dan antimadat amat diperlukan. Komponen masyarakat menanamkan anak-anak dan orang muda hidup dalam lingkungan antimadat, dan anti narkoba. Untuk itu perlu : Pertama, sosialisai tentang pentingnya menghormati manusia sebagai makluk bermartabat. Pecandu narkoba, secara fakta cenderung dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Dengan demikian mereka termasuk kelompok rentan, terhadap tekanan, pandangan negatif masyarakat. Menyebabkan mudahnya mereka kembali kepada perilaku pengguna narkoba. Seperti contoh kasus Raymond ia masih muda, memiliki cita-cita dan ingin meneruskan hidup layaknya orang-orang yang tidak pernah menjadi pecandu. Berbagai keterampilan seperti menggunakan komputer, keterampilan mekanik motor, mix farming, dan sebagainya sudah diperoleh di panti sebagai bekal untuk hidup ketika dia harus keluar dari panti. Penerimaan masyarakat akan membantu untuk tak terjerumus lagi ke dunia kelam sebelumnya. Kedua, keterbukaan dan kepedulian. Menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk menerima mantan pecandu sebagai bagian masyarakat. Sebagai korman yang telah sembuh yang harus mendapatkan penerimaan yang kondusif. Ketiga, Meningkatkan kepekaan sosial mengenai perkembangan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan yang terkait dengan sumber penularan HIV juga dapat membantu menurunkan stigma di masyarakat umum. Stigma juga sering didasari oleh rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui, diluar kontrol kita. Oleh karena itu, melalui peningkatan pengetahuan mengenai pencegahan dan dampak narkoba, diharapkan mampu menghilangkan stigma.

2. Unsur Keluarga . Pertama, peran keluarga dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba. Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah upaya Yang dilakukan terhadap. factor-faktor yang Berpengaruh atau penyebab, baik secara langsung maupun tidak langsung, agar seseorang atau sekelompok masyarakat. Mengubah keyakinan, sikap dan perilakunya sehingga Tidak memakai narkoba atau berhenti memakai narkoba. Keluarga adalah lingkungan pertama & utama dalam membentuk dan mempengaruhikeyakinan, sikap dan perilaku seseorang terhadap penggunaan narkoba. Kedua, Membangun keluarga harmonis. Mendengarkan secara aktif, menunjukan kasih sayang dan perhatian orangtua kepada anak. Sikap orang tua yang menyebabkan anak berhenti atau menolak mencurahkan isi hatinya Menghakimi atau menuduh, Merasa benar sediri, Terlalu banyak memberi nasihat atau ceramah, Sikap seolah-olah mengetahui semua jawaban, Mengkritik atau mencela, Menganggap enteng persoalan anak. Sebaiknya menghindari kata-kata negatif: harus, jangan, tidak boleh Gunakan kalimat terbuka yang tidak membantu pembicaraan. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri anak. Anak pecandu memiliki citra diri yang rendah. Orang tua membantu peningkatan percaya diri anak dengan ; Memberikan pujian dan dorongan untuk hal-hal kecil atau sepele yang dilakukannya, membantu mencapai tujuannya secara realistik. Mengarahkan cita-citanya sesuai kemampuan dan kenyataan. Memberikan anak tanggung jawab yang dapat membangun kepercayaan dirinya, sesuai kemampuan dirinya. Memberikanm tugas misalnya membersihkan kamar tidur, menyapu ruangan, mencuci. Mewujudkan kasih sayang secara tulus. Keempat, Mengembangkan nilai positip pada anak. Sejak dini anak diajarkan membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Guna berani mengambil keputusan atas dorongan hatinuraninya, bukan karena tekanan atau bujukan teman. Menunjukkan sikap tulus, jujur, tidak munafik, terbuka, mau mengakui kesalahan, meminta maaf, serta tekad untuk memperbaiki diri. Kelima, Mengatasi Masalah Keluarga. Tidak biarkan koflik suami-istri berlarut-larut, sebab anak dapat merasakan suasana ketegangan orangtua. Diusahakan untuk menciptakan suasana damai antara suami isteri dan anak-anaknya. Keenam, mencegah penyalahgunaan narkoba di rumah, dengan mempelajari fakta & gejala dini penyalahgunaan narkoba, tentang penyalahgunaan narkoba. Berpartisipasi aktif dalam gerakan peduli anti-narkoba dan anti-kekerasan. Ketujuh, orang tua berperan sebagai teladan untuk tidak merokok, minum minuman beralkohol, atau memakai narkoba. Perlihatkan kemampuan orangtua berkata tidak terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. Jangan malu minta tolong jika butuh pertolongan. Hormati hak-hak anak dan orang lain. Perlakukan anak/orang lain dengan adil dan bijaksana. Hiduplah secaara tertib dan teratur.


III. P E N U T U P

Bahwa permasalahan Narkoba dewasa kini semakin memprihatinkan seluruh kalangan masyarakat beradab, termasuk bangsa negeri ini. Berbagai permasalahan terus datang silih berganti bagai tiada henti. Berawal dari tempat transit, kini peredaran dan produksi. Sehingga dampaknya semakin memudahkan pecandu yang terus bertambah. Melalui program Pencegahan, pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba, nyata-nyata masih belum efektif. Kini giliran kultur masyarakat yang menghadapi mantan pecandu. Begitu kuatnya stigma pecandu yang telah sembuhpun terkendala dengan stigma pecandu yang negative, semakin membuat terpuruknya pecandu. Dengan demikian kondisi pecandu dan mantan pecandu menjadi rentan untuk kembali menjadi pecandu dan bahkan lebih parah lagi. Selain itu mereka pun rentan untuk terpinggirkan dari pergaulan masyarakat. Sebagian warga masyarakat melalui komponen LSM dan institusi pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya. Namun masih tetap menghadapi kendala terbesar yaitu stigma masyarakat terhadap pecandu Narkoba yang terus negatif.
Untuk itu maka mutlak dilakukan langkah strategis dan inovatif serta berbagai terobosan baik bagi para pecandu, kalangan masyarakat, maupun institusi. Bagi pecandu kesembuhan dan pulihnya kepercayaan diri agar tidak kembali sebagai pecandu. Sedangkan untuk kalangan masyarakat melalui berbagai pendekatan kemanusiaan, mengubah persepsi masyarakat, untuk bersama-sama menerima dan mendukung mantan pecandu menjadi warga masyarakat normal. Disadari proses stigmatisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal pecandu maupun eksternal warga masyarakat. Termasuk keluarga pecandu yang belum seluruhnya siap menerima, pecandu.
Berbagai peluang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan guna menerima mantan pecandu melalui membangun mentalitas masyarakat menghilangkan stigma pecandu. Diperlukan berbagai pendekatan yang humanis. dengan membangun kesadaran kemanusiaan. Secara terus menerus disosialisasikannya program kemanusiaan. Mengarahkan masyarakat bahwa pecandu adalah korban yang wajib ditolong. Bukan dikriminalisasi. Membangun fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi pecandu. Program alternative development, program After Care. Kesemuanya merupakan bagian bentuk kepedulian masyarakat dan institusi untuk membantu pemulihan serta menghilangkan stigma yang suram terhadap mantan pecandu. Bahwa dalam rangka mengatasi stigma masyarakat terhadap pecandu mutlak diperlukan komitmen masyarakat untuk menerima pecandu sebagai korban. Mereka butuh bantuan penyembuhan, dukungan komitmen seluruh komponen bangsa ini yang meliputi institusi Negara, LSM, masyarakat, keluarga dan pecandu secara konsisten.
Guna mendukung kebijakan dan upaya pemberantasan Narkoba gelap di negeri ini serta membangun stigma pecandu di masyarakat diperlukan : Pertama kepada seluruh keluarga agar untuk belajar mendeteksi dini sehingga anggota keluarganya tidak terjerumus kedalam penggunaan Narkoba. Kedua, kepada seluruh warga bangsa sebagai umat beragama, untuk membantu menerima mantan pecandu yang siap kembali dan mendorong penyembuhan bagi pecandu melalui pendekatan religius, setulus hati. Ketiga, kepada seluruh aparat terkait dengan penanganan kasus pecandu narkoba, agar menempatkan mereka benar-benar sebagai korban. Menangani mereka dengan pendekatan kemanusiaan dan dalam kerangka pemulihan, melalui terapi dan rehabilitasi yang memadai. keempat, kepada seluruh pejabat dan aparat terkait dan berwenang agar segera merevisi Undang-Undang tentang Narkotika. Yang intinya pecandu bukan dikriminalisasi. Mereka harus dijamin dengan pasal yang menyatakan sebagai korban dan wajib diberikan pertolongan. Selanjutnya masyarakat yang memberikan stigma kepada pecandu diberikan sanksi. Guna membangun perilaku masyarakat yang mampu mengeliminasi stigma pecandu di masyarakat. Sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok rentan.


SUMBER PUSTAKA

Buku - Buku :
Green, Cris Wred. 2001, menanggapi Epidemi HIV di kalangan Pengguna Narkoba Suntikan: Dasar Pemikiran Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Warta AIDS, Yogyakarta.

Hawari, Dadang, 2004, Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (Sistem Terpadu) Pasien Naza (Narkotik, Alkohol, dan Zat Adiktif lain), UI-Press, Jakarta.

---------, 2006, Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif ) Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo Prof. Dr., 2003, Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Rineka Cipta , Jakarta.

Siregar, Sondang Susan,et all, 2006, Prosedur Standar Penanganan dan Pencegahan Keterlibatan Siswa Dalam Perdagangan Narkoba di Sekolah, YKAI dan ILO, Jakarta.

Sumadi Suryabrata, 1990, Psikologi Kepribadian, Rajawali, Jakarta.

Trimingham Tony, Stepping Stones To Success, Family Drug Support, handout V2, 2006, Australia.

Dokumen-dokumen
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2006, Kamus Narkoba istilah-istilah Narkoba dan Bahaya Penyalahgunaannya.

--------, 2003, Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya.
--------, 2006, Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia, Puslitbang info BNN.
--------,2005, Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia, tahun 2003 dan 2004.
--------,2006, Comprehensive Multidisciplineary Outline (CMO), (Garis Besar Penanggulangan Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba Secara Komprehensif dan Multi disiplin), dialihbahasakan dan disunting khusus untuk BNN oleh Holil Soelaiman (Konsultan Ahli BNN).
Undang-Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
---------,nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
---------,nomor 5 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illcit Traffict in Narcotic, Drugs and Psichotropic Substances.
Jurnal Data Badan Narkotika Nasional tahun 2008.
Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kotamadya.
Keputusan Presiden RI nomor 3 tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif lainnya.
Badan Narkotika Nasional, (2008), Terapi Rehabilitasi Komprehensif Bagi Pecandu Narkoba Dilihat Daru Sisi Psikososial.
Badan Narkotika Nasional, (2006), Modul Pelatihan Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Centre (OSC).
www.bnn.go.id
www.drugs.com
http:// gemapria.bkkbn.go.id