Kamis, 18 Juni 2009

SUBURNYA PREMANISME (BUKAN) DI NEGERI PREMAN

Impian mewujudkan masyarakat madani menjadi dambaan segenap warga negeri ini. Tak satupun yang luput, semua niscaya mengamini. Siapapun dan apapun latar belakangnya. Bahkan kelompok yang oleh kalangan dikategorikan preman. Dari tukang palak, pungli, pemeras tingkat RT hingga preman yang go public. Diyakini ketika lahir tak seorang pun pernah bercita-cita menjadi preman. Kondisi masyarakat menyebabkan tumbuhnya preman. Mulai masyarakat sakit hingga masyarakat yang berperilaku preman, mereka telah andil mengukir lahirnya premanisme di negeri berbudaya luhur. Bukan negeri preman.
Stigma preman, asal kata ’’freeman’’ yakni orang bebas, cenderung negatif, meresahkan masyarakat. Premanisme adalah aliran yang membenarkan praktek hidup gaya preman. Orang atau kelompok orang dengan bebasnya hidup tanpa mempedulikan aturan. Mendapatkan sesuatu dengan gratis. Mulai dari sekedar makan minum, fasilitas papan, sandang hingga biaya hidup layak. Dengan cara memeras, merampas hak orang lain. Menakut-nakuti melalui jasa keamanan illegal atau apa saja, sehingga pihak-pihak tertentu memberikan upeti bagi sang preman. Kata preman yang berarti perampok, penodong, dan pemeras dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Senafas dengan kinerja "oknum" yang memeras dengan memanfaatkan kekuasaannya di pelbagai jajaran birokrasi negeri ini. Peras-memeras mulai dari mengurus izin di berbagai lini kehidupan oleh aparat birokrat yang kian membuat ekonomi Indonesia terus melambat. Sehingga perilaku preman menjadi musuh masyarakat bersama aparat keamanan. Wajar bila kini menjadi pekerjaan rumahnya polisi. Untuk terus menggiatkan operasi pemberantasan premanisme di seluruh wilayah negeri ini. Memberantas premanisme tentu menjadi yang ditunggu-tunggu. Perlu dukungan semua lapisan masyarakat.
Bedanya preman kelas jalanan tumbuh subur karena ketimpangan sosial masyarakat, dan aparat bergaya preman. Sedangkan preman berdasi ditujukan bagi prilaku elit dan birokrat yang menggalang rakyat, dengan kedok jasa pelayanan. Sehingga rakyat yang kian tertindas menghadapi aparat birokrat sebagai preman-preman yang memeras rakyat. Premanisme terus berkembang subur, arogansi aparat yang bermental preman merajalela.
Seiring dengan reformasi, memberantas preman merupakan komitmen pemerintah demi mewujudkan rasa aman masyarakat. Sebagai cita-cita good governance di negeri beradab ini. Sayangnya negeri yang bergelimang dengan perilaku preman. Suburnya premanisme, sebagai dampak kemunafikan dan kian langkanya mental model elit negeri ini.
Siapapun warga negeri ini tahu bahwa negara belum mampu memberikan kesejahteraan aparatnya yang memadai. Celakanya sebagian elit penguasa mempertontonkan hidup berkelimpahan, di tengah-tengah kemiskinan yang kian menghimpit. Kondisi suburnya mental preman aparat. Demi kedok mencukupi kebutuhan operasional, mereka menggerogoti kekayaan negeri. Perilaku merampas harta Negara demi kepentingan pribadi atau kelompok, tampilan perilaku korup, preman berdasi. Aparat dan masyarakat korup, melahirkan generasi korup. Kian menyuburkan premanisme di negeri beradab. Sekali lagi negeri ini, bukan negeri preman. Preman berdasi jauh lebih berbahaya daripada preman jalanan, yang merampas recehan.
Perlu solusi yang tak melanggar hak asasi. Disadari negeri ini bukan negeri preman. Pemberantasan preman sejalan dengan kebijakan pemerintah. Memberantas preman berdasi, telah digetarkan oleh kiprah KPK. Demi komitmen ”bukan negeri preman”. Giliran seluruh aparat dan elit harus mereformasi diri mewujudkan bangsa yang berkarakter, menjunjung supremasi hukum. Bergelimangnya kalangan elit yang berdampak kemiskinan dan kesenjangan sosial maka premanisme akan semakin subur. Dampak lain adalah matinya karakter bangsa ini, akan menumbuhsuburkan premanisme.
Premanisme hanya merupakan ujung masalah, sedangkan akarnya adalah pemiskinan, pembodohan, pengangguran dan kesenjangan miskin-kaya yang kian menganga. Kembali lagi alasan klasik, bukan hal yang baru, kini hanya makin kompleks. Pemerintah kini disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat.
Pelbagai instansi di negeri ini dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang "premanisme", sebagian aparat, pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja. Tengok saja sejumlah loket pelayanan, seperti bagian informasi, yang sering kosong ditinggalkan petugas. Fenomena yang kian menambah litani keterpurukan bangsa ini. Karena kemunafikannya. Nyata-nyata negeri yang memiliki warisan budaya luhur, namun justru menampakkan premanisme terselubung.
Simak saja pengalaman mengurus peningkatan status hak atas tanah, menghabiskan waktu berbulan-bulan, dengan biaya puluhan juta rupiah dan berakhir dengan kekecewaan. Status tanah justru turun dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Aparat kerja santai, pulang cepat dan mempersulit urusan, adalah gambaran singkat kinerja pegawai bermental preman.
Di berbagai tempat masih terdapat keluhan para pelaku usaha. Dunia preman dan birokrasi di Indonesia hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas. Lihat saja kasus keluhan seorang pengusaha elektronik, mengeluarkan uang Rp 15 juta setelah didiskon dari tarif Rp. 25 juta, untuk mendapatkan dua lembar surat berkop sebuah kecamatan di ibukota negeri ini, di bagian bawahnya bertuliskan tidak dipungut biaya.
Kasus lain, pengelola mall di Jakarta, telah mengeluarkan uang Rp 1,6 miliar untuk membiayai aparat menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar yang menutup akses kompleks tersebut. Suasana sempat tertib untuk dua minggu saja. PKL dan parkir liar kembali tumpah ruah. Mereka telah membayar setoran kepada oknum aparat dan preman setempat. Terjadi kongkalingkong. "Para PKL membayar uang bulanan dan uang harian kepada oknum aparat. Lain lagi pengalaman investor asing yang harus menerima kenyataan pahit. Pemalakan di sana-sini guna mendapatkan ijin. Mereka terpaksa hengkang ke negeri orang.
Baru-baru ini semua menjadi indikasi preman berdasi merajalela. Setumpuk bukti mengarah keterlibatan Muspika tatas kasus premanisme yang berdampak pengrusakan proyek PLTU, di Banten. Aneh memang, secara institusi tidak ada penyimpangan, tetapi selalu ada oknum di hampir seluruh instansi pemerintah sebagai realita preman berdasi yang bergentayangan di seluruh lini kehidupan. Sebenarnya tidak hanya pungutan liar yang menghambat bangkitnya perekonomian, namun mental preman aparat.

Perangkat peraturan yang dibuat birokrasi di pusat dan daerah turut mempersulit pihak swasta dan berdampak terhadap tingginya harga yang harus dibayar konsumen serta mempersulit kesempatan kerja dan mengurangi kesejahteraan pekerja. Harus diakui, membuka diri bagi kritik, transformasi, dan meningkatkan kesejahteraan merupakan jawaban untuk mengubah citra birokrasi agar tidak lagi tumbuh sebagai sarang "preman berseragam".
Suburnya premanisme kian membelenggu. Operasi polisi di seluruh Indonesia terhadap para preman menghasilkan tangkapan yang mencengangkan. Dalam hitungan hari, tidak kurang dari 3.000 preman dari Sabang sampai Merauke diringkus. Sekitar 369 di antaranya ditahan karena memenuhi syarat sebagai pelaku tindak kejahatan. Angka-angka itu membenarkan sebuah fakta. Premanisme merebak dan sekaligus membelenggu hampir di semua sisi kehidupan.
Mereka, para preman, tidak saja memaksakan kehendak di jalan-jalan. Premanisme terjelma juga dalam bentuk yang lebih keren dengan istilah preman berdasi. Dari kalangan itu merebak praktik premanisme politik dan premanisme ekonomi. Di jalan-jalan para preman memeras dan merampas. Di pelabuhan mereka beraksi. Di atas bus kota mereka meneror dengan kedok sebagai penyanyi. Di persimpangan lampu lalu lintas segala bentuk premanisme mengancam. Baik dengan kapak merah maupun melalui para pengemis yang berpura-pura memelas. Sistem sosial kemasyarakatan terbangun dan mulai terbiasa dengan perampasan atas hak orang lain.
Tetapi diakui atau tidak, premanisme tumbuh dan berkembang justru karena pembiaran. Bahkan premanisme dipelihara karena dari sana mengalir rezeki. Sebagai salah satu faktor yang membangkrutkan perusahaan-perusahaan adalah perampasan oleh para preman jalanan hingga preman berdasi di berbagai lini. Fenomena gunung Es, telah menggetarkan yang ke permukaan hanyalah sedikit, yang dibawah permukaan jauh lebih dahsyat. Praktek aparat bermental preman yang jauh lebih brengsek daripada preman pemalak uang recehan.
Premanisme adalah akibat langsung dari kemiskinan dan pengangguran. Kalau angka pertumbuhan ekonomi tidak dicapai pada tingkat yang secara teoretis menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, maka akan memacu suburnya premanisme. Kemiskinan dan pengangguran entah kapan bisa dihapus. Namun, premanisme harus diperangi. Salah satu yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu angka pertumbuhan tinggi adalah penegakan hukum.
Solusinya para preman perlu dibina, khususnya dalam hal mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan masing-masing preman. Sebab, preman kelas bawah identik dengan perut sejengkal. Preman berdasi lebih sulit diberantas. Umumnya mereka sudah mapan di masyarakat dan punya kekuatan tersendiri. Bisa saja mereka menggunakan organisasi sosial dan pemuda dalam menjalankan aksi premanismenya.
Menarik benang merah uraian di atas, bahwa suburnya premanisme merupakan tantangan seluruh komponen bangsa. Negeri ini memprihatinkan bila terus diselimuti perilaku preman. Preman akan sulit diberantas tanpa komitmen kuat, mengubah citra aparat yang berkultur melayani. Memberikan solusi dengan menunjukkan model perilaku segenap pemimpin negeri ini, yang peduli membangun kesejahteraan negeri demi masyarakat madani. Kondisi masyarakat inilah yang akan bersama-sama membendung suburnya premanisme di negeri beradap, berbudaya luhur, bukan negeri yang diawaki preman berdasi dan preman jalanan. Semoga.

Selasa, 02 Juni 2009

QUICK- WIN KIPRAH POLISI YANG DINANTI

Disadari bergulirnya reformasi telah menggetarkan seluruh lini kehidupan. Sebuah getaran perubahan. Dampaknya adalah kesanggupan untuk belajar menerima segudang ketidak beresan hasil perubahan. Dan berharap terjadi pencerahan atas strategi yang pas demi implementasinya. Lauren Keller Johnson menyebutnya sebagai change without pain.
Meski ada saja cibiran di sana-sini. Terutama mereka yang dilumuri rasa kecewa atas pelayanan publik. Manusiawi. Disadari bahwa citra buruk birokrasi dan aparatur negeri masih bergelayut dimata rakyat. Pada saatnya hanya akan menggerus kepercayaan masyarakat atas eksistensi institusi pelayan publik. Simak saja dokumen Menteri PAN No.Per/15/M.PAN/7/2008. Pemerintah bertekad membangun kepercayaan masyarakat (trust building). Kongkritnya melalui program Reformasi Birokrasi. Tujuannya membangun birokrasi yang Good Governance, yaitu bersih dari praktek KKN, transparan, dan akuntabel. Program Reformasi Birokrasi suatu program perubahan besar, mendasar dan komprehensif.
Polri sebagai bagian integral komponen negeri. Tengok saja institusi ini pun terus mengukir berbagai terobosan strategis. Mulai dari membangun Polmas sebagai filosofi dan strategi menjalin kemitraan dengan masyarakat. Reformasi birokrasi dengan quick-win nya. Nyata-nyata berorientasi pada profesionalisme pelayanan masyarakat. Serangkaian kebijakan telah menjadi acuan kepolisian. Demi memenuhi kebutuhan rakyatnya. Diyakini berbagai kiprah kepolisian tidak pernah akan lebih efektif tanpa peran serta aktif masyarakat.
Masyarakat kini semakin kritis, namun juga carut-marut. Setelah lebih satu dasawarsa bergulirnya reformasi di negeri ini. Kepolisian terus berbenah diri. Menuju terwujudnya kepolisian professional, bermoral dan moderen. Sebagaimana digariskan dalam visi kepolisian. Kebijakan yang kiprahnya dinanti. Tidak hanya itu. Masyarakat akan terus tumbuh kearifannya untuk bersama-sama polisi mengatasi permasalahan Kamtibmas. Akan terjadi take and give. Profesionalitas kepolisian akan kian menumbuhkan peran serta aktif rakyatnya. Kebersamaan dalam ketertiban. Keberhasilan-keberhasilan kecil sebagai kemenangan cepat (quick-win) perlu terus dijaga kesinambungannya. Demi tetap berkobarnya semangat pencapaian hasil. Kemenangan-kemenangan kecil tersebut bahkan perlu disosialisasikan kepada setiap anggota kepolisian dan stakeholders-nya.
Quick-win dalam rangka Trust building merupakan kebijakan Polri, kiprahnya dinanti rakyat di negeri ini. Prioritas dan kesungguhan kepolisian demi membangun kepercayaan masyarakat, pantas diapresiasi. Kini semakin tinggi kesadaran masyarakat. Trust building mendukung implementasi good governance dengan tiga pilarnya. Yakni institusi pemerintah, pihak swasta dan rakyat. Harus bersinergi, dilandasi semangat mewujudkan kinerja yang akuntabel, efektif dan efesien, menegakkan supremasi hukum, transparansi, dan berkeadilan.
Lihat saja melalui program unggulan quick-win yang telah dicanangkan mulai awal tahun ini. Sebagai reformasi birokrasi, kiprahnya dinanti. Bertepatan dengan Polri genap menapaki usia ke-63, 1 Juli 2009 ini. Kiranya menjadi pendorong semangat membangun kinerja demi kepercayaan mesyarakat. Grand strategi Polri (2005-2025), jelas tahapannya. Yaitu : Trust Building (2005-2010), Partnership Building (2011-2015) dan Strive For Excelence (2016-2025). Dalam rangka tindak lanjut tahapan Trust Building, program Quick-Win dibangun. Sasarannya mempercepat trust building yang dicanangkan hingga 2010. Dapat diprediksi peran serta masyarakat pada periode berikutnya membangun kemitraan, sangat ditentukan keberhasilan tahapan ini.
Quick-Win merupakan transformasi menuju birokrasi yang profesional, bermoral dan moderen dalam mewujudkan dan memelihara Kamtibmas. Beberapa program unggulan dalam Quick-win meliputi pertama, Quick Response, yaitu kecepatan dan ketanggapsegeraan Polisi dalam menanggapi, menindaklanjuti laporan dan pengaduan. Kedua, transparansi dan komunikasi yang baik dalam penyidikan. Polisi lebih transparan dan komunikatif dalam bidang penyidikan tindak pidana melalui sarana Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Ketiga, Proses Rekruitmen anggota Polri, yang bebas dari praktek KKN. Keempat, Transparansi dalam pelayanan SIM, STNK dan BPKB. Program unggulan yang relevan.
Terkait dengan grand strategy Polri, Quick-win merupakan kiprah polisi yang dinanti, seiring eksistensinya. Yaitu netralitas dalam menegakkan supremasi hukum, terutama terhadap kasus-kasus yang melibatkan oknum anggota polisi. Demi mendukung program unggulan ini. Sebagai percepatan mewujudkan trust building. Bukan lagi slogan tanpa isi. Lagi-lagi sebagai kiprah polisi yang dinanti.
Dibutuhkan komitmen kuat dalam pelayanan guna menjawab tuntutan publik. Pembiaran terhadap borok-borok kepolisian yang tak segera dibersihtuntaskan akan menghambat kiprah quick-win, kebijakan percepatan trust building. Sadar kompleksitas permasalahan kepolisian negeri ini. Keberhasilan polisi membongkar kasus-kasus besar yang membuat tercengang duniapun akan segera terhapus. Gara-gara ulah beberapa gelintir polisi yang melukai hati rakyatnya. Entah diskriminatif kek, arogansi kek, atau perilaku manipulatif kek. Itung-itung tantangan kiprah polisi melalui program quick-win.
Perlu menarik benang merah uraian di atas. Quick-win sebagai program unggulan reformasi birokrasi polisi, kiprahnya dinanti. Strategi mewujudkan paradigma polisi sipil yang demokratis, menegakkan supremasi hukum dan HAM. Sejalan dengan prinsip good governance dan cita-cita reformasi negeri ini. Mutlak diimplementasikan secara konsisten dan proporsional. Keberhasilan kiprah quick-win mendukung trust buiding, demikian sebaliknya. Masyarakat tak butuh retorika namun aksi nyata kinerja polisi profesional, bermoral, dan moderen. Harapan reformasi birokrasi polisi adalah terwujudnya kepercayaan masyarakat dalam mendukung Kamtibmas yang kondusif. Dirgahayu ke-63 Bhayangkara.

Jumat, 08 Mei 2009

NARCO-ECONOMY

Dampak peredaran gelap Narkoba begitu dahsyat. mampu menggoncangkan perekonomian bangsa ini. Hal ini dapat dimaknai sebagai Narco-economy, menarik dicermati. Sebagai pengalaman empirik yang terjadi pada perputaran ekonomi di Amerika tahun 30-an hingga awal 70-an, telah menembus perekonomian Negara 35 % dikuasai mafia narkotika. Betapa membuat mirisnya bangsa beradab di belahan dunia ini. Berangkat dari keprihatinan bangsa beradab, hingga melihat peredaran gelap narkoba yang kian memprihatinkan bangsa ini maka penulis mencoba untuk menggelitik nurani siapapun penghuni bumi pertiwi ini. Merajalelanya peredaran gelap narkoba berdampak pada kian menggerogoti perekonomian negeri ini.
Tengok saja bila data yang dilansir di berbagai media, betapa merebak dan menggilanya peredaran gelap narkoba. Data BNN 2008 mengatakan 1,5 % bangsa ini telah menjadi pengguna gelap narkoba. Padahal bila diasumsikan 1 % dari 230 juta orang penduduk bangsa ini menjadi pecandu narkoba, sama dengan 2,3 juta jiwa. Dikaitkan teori gunung es pengguna gelap narkoba, menurut Dadang Hawari, yang ada di bawah permukaan adalah 10 kali lipat yang di permukaan.
Dalam konteks teori ini penulis berasumsi I juta yang menjadi pecandu narkoba (kurang dari o,5 %) maka 10 juta orang jumlah pecandu di negeri ini. Lagi-lagi bukan hanya dahsyat rusaknya generasi bangsa namun aspek ekonomi. Tengok saja betapa parahnya. Dari 10 juta orang dipukul rata memakai jenis shabu 3 hari sekali. Sekali pakai satu gram. Tiap gram seharga 950 ribu rupiah. Dalam satu tahun beaya yang harus dikeluarkan demi belanja shabu barang haram yang siap menghantar nyawa dan menggerogoti karakter bangsa ini sangat mengerikan.
Simak perhitungan matematisnya, 10 juta orang kali 10 (tiga hari sekali) kali 12 (setahun) kali 950 ribu rupiah sama dengan 1140 triliun rupiah. Kembali diasumsikan, langkah pemerintah dan masyarakat berhasil menghentikan mereka dan membawanya ke panti terapi dan rehabilitasi. Dengan minimal proses penyembuhan 6 bulan dengan baya 200 ribu rupiah perorang perhari. Perhitungan matematisnya 10 juta orang kali 200 ribu rupiah kali 180 (6 bulan) sama dengan 360 triliun rupiah. Kebutuhan mengkonsumsi gelap narkoba selama satu tahun dan beaya penyembuhan selama enam bulan sama dengan 1140 triliun ditambah 360 triliun rupiah mencapai nilai 1500 triliun rupiah.
Siapapun akan miris dihadapkan ancaman narco-economy ini. Belum lagi kerugian sosial dan beaya operasional. Bisa dibayangkan betapa besar biaya yang dibuang sia-sia. Belum lagi ancaman pihak ketika kian terbuka menganga. Penjajahan ekonomi, social, politik dan kemanusiaan sekaligus bisa saja menjadi scenario pihak tertentu. Selain hancurnya karakter bangsa narkoba merusak ekonomi, sosial, budaya hingga politik. Berbagai aspek bangsa akan hancur akibat narkoba.
Dari uraian di atas maka sangat jelas kiranya dampak peredaran gelap narkoba. Dibutuhkan profesionalisme pemberantasannya. Diperlukan komitmen yang kuat dan konsisten dalam implementasinya. Semakin rapuh kondisi mentalitas bangsa maka kian merajalelanya peredaran gelap narkoba. Sebaliknya bangsa yang berkarakter kuat akan mampu mengatasi peredaran gelap narkoba.