Selasa, 07 September 2010

NEGERI ANTI KORUPSI (SETENGAH HATI)
Oleh A. Kadarmanta. S.Sos., MM.





Mengutip pepatah Barat ”Don’t be a six o’clock man” bermakna sebuah pesan agar siapapun termasuk elit di negeri ini tidak berkinerja setengah hati. Dalam memberantas korupsi, bila kinerja aparat birokrat dan penegak hukum terindikasi setengah hati, giliran karut-marut negeri yang kian dekat menanti. Gegap gempita pemberantasan korupsi ternyata hasilnya terengah tak pasti, meski khalayak mengamini sebagai negeri ini anti korupsi. Berbagai institusi pemberantas korupsi telah berdiri, sayangnya begitu kuatnya indikasi bangsa ini setengah hati memberantas korupsi.
Sangat ironis negeri yang dikenal religius dan berpancasila ini sangat sulit mentas dari jerat perilaku korup. Lihat saja setelah institusi Kepolisian dan Kejaksaan tiada berdaya efektif memberantas korupsi telah dilahirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan kewenangan yang demikian besar, dengan harapan “ New and clean broom sweep clean” (dengan sapu baru dan bersih bisa untuk menyapu bersih). Lembaga yang konon sebagai super body pun kini menghadapi tantangan berat, adanya pembusukan kultural, perilaku elit birokrat yang setengah hati memberantas korupsi, karakteristik korupsi yang menjamaah, adanya sistematisasi manipulasi. Belum lagi seabrek peraturan yang overlaping sehingga kian rentan terhadap praktik korupsi.
Bercokolnya punggawa birokrasi berkelimpahan materi meski minimnya gaji, sungguh kontradiktif. Gambaran tumpulnya nurani untuk membangun rasa peduli atas kesenjangan sosial di saentero negeri. Suara akar rumput yang mengkritisi elit saat berkiprah sebagai pelayan publik sehari-hari : ” nggak usah jujur yang penting makmur, gak usah lurus dan tulus yang penting fulus” membuat miris bagi insan bernurani. Lagi-lagi yang dilansir Kompas 9 Juli 2010, bahwa korupsi belum jadi musuh bersama di negeri ini memperkuat indikasi setengah hati memberantas korupsi. Peran serta sejumlah aktivis masyarakat menghadapi power melahirkan model intimidasi dan kekerasan. Menyimak penganiayaan oleh orang tak dikenal terhadap Tama S. Langkun aktivis ICW (Indonesia Corruption Wach) baru-baru ini telah menjadi teror serius. Pasalnya kasus itu terjadi setelah yang bersangkutan berkutat menyajikan data sejumlah oknum aparat penegak hukum yang memiliki rekening gendut, menyusul kasus Gayus yang telah menyeret beberapa pejabat terkait dugaan korupsi. Berbagai kasus ini kiranya sebagai fenomena gunung es kejahatan korupsi dari segudang kasus yang berada di bawah permukaan terlebih dampak pemberantasan korupsi setengah hati.
Predikat sebagai negeri terkorup di dunia seharusnya menohok bangsa bernurani. Kini masyarakat pun sangsi akan kesungguhan elit negeri dengan slogan tanpa konsistensi, terutama aparat pemberantas korupsi. Penegak hukum dengan cepatnya menuntaskan kasus pencuri beberapa biji kakao namun sangat lamban dalam kasus koruptor kelas kakap. Kondisi demikian ini telah menumbuhsuburkan perilaku korup di kalangan elit (Legislatif, Birokrat, dan Swasta) serta diperparah lagi dengan sistem yang berpeluang korup. Budaya menggarong uang rakyat telah terjadi di berbagai institusi. Untuk mempermulus modus operandi mafioso korup ini disiasati dengan menciptakan sistem yang lemah serta mempertahankan sistem yang secara faktual tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Sangat sulit membenahi apa yang sudah tertanam dan menjangkiti aparat negeri ini. Bila penyelenggara negara sebagai benteng terakhir pembersihan korupsi justru menjadi sumber korupsi. Dampaknya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja aparat. Dalam sebuah penelitian menyebutkan lembaga terkorup jatuh pada Kepolisian (54,8 persen), DPR (33,3 persen), dan Kejaksaan (28,0 persen). Ironisnya Kementerian Agama juga termasuk lembaga korup (9,8 persen), melebihi kementerian Kehakiman (8,5 persen), Kementerian Keuangan (8,1 persen), dan Dirjen Pajak (5,8 persen). Tengok saja ketika Transparency International mengumumkan peringkat korupsi negara-negara di dunia. Dengan rentang indeks dari 0 (terkorup) hingga 10 (terbersih), Indonesia mendapat ”nilai” 2,8, naik dari sebelumnya, 2,6, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-111 dari 180 negara. Selama kurun waktu 14 tahun, indeks itu bagi Indonesia dicapai dengan tertatih-tatih.
Dalam lingkup yang lebih kecil, yakni sepuluh negara ASEAN, Indonesia naik peringkat ke deretan kelima di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,4). Prestasi yang meningkat setelah setahun sebelumnya negeri ini berada di posisi buncit. Ibarat penyakit, korupsi menjadi endemik dalam birokrasi serta dalam hubungan antara pemerintah dan pengusaha. Mulai dari lembaga negara di tingkat pusat hingga daerah telah menjadi pusaran badai korupsi. Pengalaman empirik menunjukkan suatu masyarakat yang korup, dualisme dalam kegiatan lembaga-lembaga negara banyak terjadi. Pertalian antara korupsi dan kriminalitas akan menjadi fenomena biasa. Tengok pula dari seabrek kasus kejahatan korupsi, sejauh ini baru mantan jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis paling lama, yakni 20 tahun, vonis tersebut terkait dengan keterlibatan upaya suap penyelidikan kasus korupsi BLBI.
Bahwa korupsi telah ada sejak negeri ini merdeka. Hal tersebut senantiasa terkait dengan kekuasaan. Benar kata pepatah import ini “Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely”, warisan Orde Baru penguasa menjadi cenderung absolut sehingga praktik korupsinya pun absolut pula. Perlu perjuangan memberantas korupsi tidak bisa lagi setengah hati. Dalam lima masa pemerintahan presiden di negeri ini, slogan antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus untuk menangani korupsi.Toh hasilnya masih memprihatinkan. Lebih celaka lagi korupsi bagai komoditi yang mudah direkayasa demi menyelamatkan posisi jabatan sang penguasa. Meski kiprah KPK telah menggelora namun tantangannya terlalu berat dan korupsi merajalela. Korupsi telah begitu mengakar di dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dan telah begitu kuat terhegemoni dalam pikiran sikap masyarakat pada umumnya dan kita tidak bisa mengingkarinya. Wacana pembuktian terbalik dewasa ini perlu diapresiasi dan difollowup tentu dengan kesungguhan hati. Pemberlakuannya harus pada semua pejabat yang nyata-nyata memiliki kekayaan sangat tidak berimbang dengan gaji yang diterima. Fakta ketimpangan antara jumlah gaji yang diterima dengan gaya hidup para pejabat di atas, sangat mendesak diberlakukan pembuktian terbalik. Pertama, kalangan media, LSM, masyarakat, tokoh-tokoh nasional yang punya track record baik, para pejabat yang dinilai masih bersih, segera memberi presure. Kedua melakukan pembenahan sistem yang ada di lembaga-lembaga penegak hukum.
Menyikapi fenomena ini, pemerintah yang silih berganti selalu menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatannya. Simak pula mayoritas elit saat berkampanye menjanjikan negeri yang madani bersih dari korupsi. Berbagai perangkat Undang-Undang beserta segala Peraturan Pelaksanaannya telah dibuat dalam memberantas tindak pidana korupsi namun pelaksanaannya masih saja setengah hati. Beberapa Komisi sebagai lembaga independen yang memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang dan pada pokoknya memiliki tugas untuk memberantas korupsi tersendat-sendat dan setengah hati.
Untuk itulah jika kita bertekad mencegah dan memberantasnya maka kita harus memangkas sampai pada akarnya. Bila kita tidak ingin pohon tersebut tumbuh kita harus membasmi dengan kesungguhan, bukan setengah hati. Bila bangsa negeri ini tak ingin setengah hati maka sistem dibenahi dan kualityas sumber daya manusia dtingkatkan secara drastis. Pemberantasan korupsi harus terus bernaung dibawah berbagai aturan hukum yang memadai. Hal ini terkait dengan pengalaman empirik bahwa korupsi merupakan virus, penyakit, musuh yang harus dilawan, diperangi, dan diberantas dengan komitmen sepenuh hati. Selama negeri ini melakukannya dengan setengah hati maka kepercayaan masyarakat akan melemah dan menghambat terwujudnya bangsa madani, bebas dari korupsi. Kiranya tekad kuat menginspirasi komponen bangsa negeri ini untuk memberantas korupsi dengan konsistensi dan profesionalisme yang tinggi. itulah yang kini terus dinanti bangsa ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar