PENEGAKAN HUKUM BAGI PECANDU NARKOBA
PARADIGMA UU. 35/2009
Oleh : A. Kadarmanta, S.sos., MM
PARADIGMA UU. 35/2009
Oleh : A. Kadarmanta, S.sos., MM
Ketika hukum modern semakin bertumpu pada dimensi yang menjadikannya formal dan prosedural, maka muncul pula perbedaan antara keadilan formal (menurut hokum) dan keadilan sejati (substansial). Dengan dua dimensi keadilan tersebut, kita dapat melihat bahwa praktiknya hukum bersubstansi keadilan. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo dalam pendekatan progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya baik, memiliki kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama. Hal ini merupakan aspek penting dalam membangun kehidupan berlandaskan hukum.
Menyimak geliat penegakan hukum di negeri ini, tak sedikit penegak hukum yang tergabung dalam Criminal Justice System (CJS), sering dikait-kaitkan dengan carut-marutnya penegakan hukum. Tentu bukan sepenuhnya disebabkan oleh mereka, banyak aspek lain yang turut andil. Dalam konteks ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Para ahli hukum pun dituntut menggunakan logika hukum modern demi kemanusiaan dan kebenaran selain pertimbangan lain. Dalam paradigma hukum progresif, tentu beda dengan paradigma hukum positivistis-praktis sebagaimana banyak dikaji di kancah akademik.
Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusianya. Sebaliknya paradigma hukum positivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif justru hukum yang boleh dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan. Oleh karenanya dalam penegakan hukum memang harus terus menerus berada pada status membangun diri. Lihat saja bahwa perubahan sosial terkait dengan semangat menegakkan hukum pecandu narkoba dengan dukungan social engineering by law tujuan hukum progresifnya yakni kesejahteraan manusia. Permasalahannya adalah : “Bagaimanakah paradigma penegakan hukum bagi pecandu narkoba dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009?
Berpijak dari beberapa pendekatan seperti teori Bekerjanya Hukum, setiap hukum memberitahu bagaimana pemegang peranan (role occupant) bertindak sebagai respons terhadap hukum, terkait dengan berfungsinya peraturan-peraturan, sanksi-sanksi, aktivitas lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya. Disamping itu terkait pula praktik-praktik hukum, pembuatan undang-undang, dan peradilan. Denis L. Thom, melihat juga adiksi/kecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di pengadilan mereka harus dirawat di panti rehabilitasi secara memadai.
Seabreg pengalaman empirik di berbagai belahan dunia ini bahwa telah berkembang stigma pecandu hingga menjadi keyakinan masyarakat bahwa pecandu narkoba adalah jahat.Stigma ini hanya membuat kian terpuruknya pecandu. Lahirnya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 memberikan angin segar terhadap pergeseran perlakuan pecandu narkoba. Mereka adalah korban yang wajib disembuhkan dengan dukungan kasih sayang. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang tertangkap tangan oleh aparat berwenang, dan terbukti sebagai pengguna maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang telah ditentukan.
Menengok implementasi Undang-Undang Nomor 22/1997 tentang Narkotika, meski pecandu dikriminalisasi toh terlihat bagai tiada efek jera. Kondisi secara nasional sangat memprihatinkan.) Jumlah pemakai Narkoba pada tahun 1998 adalah 1,3 juta orang dan tahun 2001 menjadi 4 juta orang atau (2% dari jumlah penduduk). Dalam kurun waktu 3 tahun pemakai Narkoba meningkat 300%. Dari jumlah pemakai tersebut 80-90% adalah pada usia produktif yaitu 15-25 tahun. Data BNN tahun 2008, jumlah kasus Kejahatan Narkoba dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) tercatat sebesar 85.596 kasus dengan angka peningkatan rata-rata 22,3% per tahun. Jumlah tersangka yang ditangkap dalam kurun waktu tersebut sebanyak 135.278 orang dengan rata-rata peningkatan per tahun 25,6%, dan sekitar 76,5 % pelaku adalah usia produktif (16-40 tahun).
Barang bukti narkoba yang disita, periode 2005-2008, antara lain : jenis narkotika, daun Ganja 206.927.300,1 gram, Pohon Ganja 3.633.761 batang, Hashish 5.761,4 gram, Heroin 65.638 kg, Kokain 2.902 gram. Jenis Psikotropika, Ekstasi 2.988.498 tablet, Shabu 3.370.660,7 gram, dan Daftar G 11.800.972 tablet. Kejahatan narkoba telah menjadi lahan bisnis sindikat dunia dan tak terpisahkan dari kejahatan internasional. Para pelaku seakan tak mengalami efek jera. Secara keseluruhan jumlah terpidana mati kasus narkoba di Indonesia adalah 72 orang yang divonis oleh berbagai Pengadilan Negeri (PN).) Seperti perdagangan obat-obatan terlarang (drugs trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan manusia (trafficking in persons), dan sejenisnya.
Selain kriminalisasi pecandu, berkembang pula stigma masyarakat bahwa pecandu sebagai penjahat. Kejahatan narkoba di Indonesia sejak 2004 hingga 2009 terus meningkat. Kasus kejahatan narkotika mencapai 45.451 kasus, psikotropika berjumlah 38.125 kasus, dan jenis bahan-bahan adiktif lainnya berjumlah 17.440 kasus. Sedangkan untuk tersangka narkotika yang tercatat berjumlah 66.541 tersangka, psikotropika 55.381 tersangka, dan bahan adiktif lainnya 33.895 tersangka. Dari jumlah tersangka tersebut 413 orang adalah warga negara asing.
Dalam Undang-Unadang Narkotika nomor 35 tahun 2009, telah menunjukkan adanya perubahan paradigma penegakan hukum pecandu. Ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika jauh lebih keras. Namun penanganan pecandu sebagai korban lebih humanis, dalam aspek pencegahan melibatkan masyarakat. Vonis rehabilitasi pecandu narkotika merupakan implementasi Undang-undang baru tersebut. Penerapan pasal-pasal 54, 55, 103, dan 127, secara lebih humanis kepada penyalahguna. Penyalahguna Narkotika wajib menjalani proses rehabilitasi medis dan sosial. Pecandu yang sudah cukup umur maupun orang tua / wali dari pecandu yang belum cukup umur, wajib untuk melapor kepada puskesmas, rumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah, untuk mendapatkan pemulihan atau rehabilitasi.
Dalam rangka mewujudkan paradigma tersebut perlu : 1. Unsur aparat terkait dengan konsisten dan proporsional mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009. 2. Unsur mantan pecandu, menyadari pentingnya mengatasi masalah pecandu, mencari teman, mentor, pendukung spiritual, bergabung dengan kelompok relawan yang siap mendukung. 3. Unsur masyarakat dan LSM, perlu memiliki pemahaman paradigma penanganan pecandu serta berperanserta aktif merubah stigma dan sanggup menerima pecandu kembali ke masyarakat. 4. Unsur keluarga berperan mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba, membangun keluarga harmonis, memberikan kasih sayang dan perhatian.
Benang merah dari uraian di atas adalah bahwa paradigma Undang-Undang no 35 tahun 2009 terhadap penegakan hukum pecandu narkoba memang lebih humanis dan realistis. Namun untuk merubah paradigma perlu melibatkan berbagai komponen apara, bangsa dan aparat sehingga penegakan hukum pecandu efektif.
Melalui program pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, era paradigma lama nyata-nyata masih belum efektif. Begitu kuatnya stigma pecandu yang telah sembuhpun terkendala dengan stigma pecandu yang negative, semakin membuat terpuruknya pecandu. Untuk itu maka perlu dilakukan langkah strategis dan inovatif serta berbagai terobosan baik bagi para pecandu, kalangan masyarakat, maupun institusi. Bagi pecandu kesembuhan dan pulihnya kepercayaan diri agar tidak kembali sebagai pecandu.
Sedangkan untuk kalangan masyarakat melalui berbagai pendekatan kemanusiaan, mengubah persepsi masyarakat, untuk bersama-sama menerima dan mendukung mantan pecandu menjadi warga masyarakat normal. Berbagai peluang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan guna menerima mantan pecandu melalui membangun mentalitas masyarakat menghilangkan stigma pecandu dan mendukung implementasi paradigma penegakan hukum bagi pecandu. Untuk itu perlu pendekatan humanis aparat penegak hukum profesional dalam paradigma penegakan hukum pecandu, melibatkan peranserta aktif berbagai pihak seperti keluarga, masyarakat, dan aparat. Secara konsisten mengarahkan masyarakat bahwa pecandu adalah korban yang wajib ditolong, bukan dikriminalisasi. Membangun fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi pecandu. Membangun program alternative development, program After Care, sebagai bagian kepedulian masyarakat dan institusi untuk membantu pemulihan serta menghilangkan stigma yang suram bagi mantan pecandu. Dengan paradigma baru penegakan hukum pecandu semoga aspek permintaan kian terkikis sehingga selamatlah bangsa ini.
Menyimak geliat penegakan hukum di negeri ini, tak sedikit penegak hukum yang tergabung dalam Criminal Justice System (CJS), sering dikait-kaitkan dengan carut-marutnya penegakan hukum. Tentu bukan sepenuhnya disebabkan oleh mereka, banyak aspek lain yang turut andil. Dalam konteks ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Para ahli hukum pun dituntut menggunakan logika hukum modern demi kemanusiaan dan kebenaran selain pertimbangan lain. Dalam paradigma hukum progresif, tentu beda dengan paradigma hukum positivistis-praktis sebagaimana banyak dikaji di kancah akademik.
Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusianya. Sebaliknya paradigma hukum positivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif justru hukum yang boleh dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan. Oleh karenanya dalam penegakan hukum memang harus terus menerus berada pada status membangun diri. Lihat saja bahwa perubahan sosial terkait dengan semangat menegakkan hukum pecandu narkoba dengan dukungan social engineering by law tujuan hukum progresifnya yakni kesejahteraan manusia. Permasalahannya adalah : “Bagaimanakah paradigma penegakan hukum bagi pecandu narkoba dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009?
Berpijak dari beberapa pendekatan seperti teori Bekerjanya Hukum, setiap hukum memberitahu bagaimana pemegang peranan (role occupant) bertindak sebagai respons terhadap hukum, terkait dengan berfungsinya peraturan-peraturan, sanksi-sanksi, aktivitas lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya. Disamping itu terkait pula praktik-praktik hukum, pembuatan undang-undang, dan peradilan. Denis L. Thom, melihat juga adiksi/kecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di pengadilan mereka harus dirawat di panti rehabilitasi secara memadai.
Seabreg pengalaman empirik di berbagai belahan dunia ini bahwa telah berkembang stigma pecandu hingga menjadi keyakinan masyarakat bahwa pecandu narkoba adalah jahat.Stigma ini hanya membuat kian terpuruknya pecandu. Lahirnya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 memberikan angin segar terhadap pergeseran perlakuan pecandu narkoba. Mereka adalah korban yang wajib disembuhkan dengan dukungan kasih sayang. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang tertangkap tangan oleh aparat berwenang, dan terbukti sebagai pengguna maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang telah ditentukan.
Menengok implementasi Undang-Undang Nomor 22/1997 tentang Narkotika, meski pecandu dikriminalisasi toh terlihat bagai tiada efek jera. Kondisi secara nasional sangat memprihatinkan.) Jumlah pemakai Narkoba pada tahun 1998 adalah 1,3 juta orang dan tahun 2001 menjadi 4 juta orang atau (2% dari jumlah penduduk). Dalam kurun waktu 3 tahun pemakai Narkoba meningkat 300%. Dari jumlah pemakai tersebut 80-90% adalah pada usia produktif yaitu 15-25 tahun. Data BNN tahun 2008, jumlah kasus Kejahatan Narkoba dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) tercatat sebesar 85.596 kasus dengan angka peningkatan rata-rata 22,3% per tahun. Jumlah tersangka yang ditangkap dalam kurun waktu tersebut sebanyak 135.278 orang dengan rata-rata peningkatan per tahun 25,6%, dan sekitar 76,5 % pelaku adalah usia produktif (16-40 tahun).
Barang bukti narkoba yang disita, periode 2005-2008, antara lain : jenis narkotika, daun Ganja 206.927.300,1 gram, Pohon Ganja 3.633.761 batang, Hashish 5.761,4 gram, Heroin 65.638 kg, Kokain 2.902 gram. Jenis Psikotropika, Ekstasi 2.988.498 tablet, Shabu 3.370.660,7 gram, dan Daftar G 11.800.972 tablet. Kejahatan narkoba telah menjadi lahan bisnis sindikat dunia dan tak terpisahkan dari kejahatan internasional. Para pelaku seakan tak mengalami efek jera. Secara keseluruhan jumlah terpidana mati kasus narkoba di Indonesia adalah 72 orang yang divonis oleh berbagai Pengadilan Negeri (PN).) Seperti perdagangan obat-obatan terlarang (drugs trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan manusia (trafficking in persons), dan sejenisnya.
Selain kriminalisasi pecandu, berkembang pula stigma masyarakat bahwa pecandu sebagai penjahat. Kejahatan narkoba di Indonesia sejak 2004 hingga 2009 terus meningkat. Kasus kejahatan narkotika mencapai 45.451 kasus, psikotropika berjumlah 38.125 kasus, dan jenis bahan-bahan adiktif lainnya berjumlah 17.440 kasus. Sedangkan untuk tersangka narkotika yang tercatat berjumlah 66.541 tersangka, psikotropika 55.381 tersangka, dan bahan adiktif lainnya 33.895 tersangka. Dari jumlah tersangka tersebut 413 orang adalah warga negara asing.
Dalam Undang-Unadang Narkotika nomor 35 tahun 2009, telah menunjukkan adanya perubahan paradigma penegakan hukum pecandu. Ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika jauh lebih keras. Namun penanganan pecandu sebagai korban lebih humanis, dalam aspek pencegahan melibatkan masyarakat. Vonis rehabilitasi pecandu narkotika merupakan implementasi Undang-undang baru tersebut. Penerapan pasal-pasal 54, 55, 103, dan 127, secara lebih humanis kepada penyalahguna. Penyalahguna Narkotika wajib menjalani proses rehabilitasi medis dan sosial. Pecandu yang sudah cukup umur maupun orang tua / wali dari pecandu yang belum cukup umur, wajib untuk melapor kepada puskesmas, rumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah, untuk mendapatkan pemulihan atau rehabilitasi.
Dalam rangka mewujudkan paradigma tersebut perlu : 1. Unsur aparat terkait dengan konsisten dan proporsional mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009. 2. Unsur mantan pecandu, menyadari pentingnya mengatasi masalah pecandu, mencari teman, mentor, pendukung spiritual, bergabung dengan kelompok relawan yang siap mendukung. 3. Unsur masyarakat dan LSM, perlu memiliki pemahaman paradigma penanganan pecandu serta berperanserta aktif merubah stigma dan sanggup menerima pecandu kembali ke masyarakat. 4. Unsur keluarga berperan mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba, membangun keluarga harmonis, memberikan kasih sayang dan perhatian.
Benang merah dari uraian di atas adalah bahwa paradigma Undang-Undang no 35 tahun 2009 terhadap penegakan hukum pecandu narkoba memang lebih humanis dan realistis. Namun untuk merubah paradigma perlu melibatkan berbagai komponen apara, bangsa dan aparat sehingga penegakan hukum pecandu efektif.
Melalui program pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, era paradigma lama nyata-nyata masih belum efektif. Begitu kuatnya stigma pecandu yang telah sembuhpun terkendala dengan stigma pecandu yang negative, semakin membuat terpuruknya pecandu. Untuk itu maka perlu dilakukan langkah strategis dan inovatif serta berbagai terobosan baik bagi para pecandu, kalangan masyarakat, maupun institusi. Bagi pecandu kesembuhan dan pulihnya kepercayaan diri agar tidak kembali sebagai pecandu.
Sedangkan untuk kalangan masyarakat melalui berbagai pendekatan kemanusiaan, mengubah persepsi masyarakat, untuk bersama-sama menerima dan mendukung mantan pecandu menjadi warga masyarakat normal. Berbagai peluang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan guna menerima mantan pecandu melalui membangun mentalitas masyarakat menghilangkan stigma pecandu dan mendukung implementasi paradigma penegakan hukum bagi pecandu. Untuk itu perlu pendekatan humanis aparat penegak hukum profesional dalam paradigma penegakan hukum pecandu, melibatkan peranserta aktif berbagai pihak seperti keluarga, masyarakat, dan aparat. Secara konsisten mengarahkan masyarakat bahwa pecandu adalah korban yang wajib ditolong, bukan dikriminalisasi. Membangun fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi pecandu. Membangun program alternative development, program After Care, sebagai bagian kepedulian masyarakat dan institusi untuk membantu pemulihan serta menghilangkan stigma yang suram bagi mantan pecandu. Dengan paradigma baru penegakan hukum pecandu semoga aspek permintaan kian terkikis sehingga selamatlah bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar