Selasa, 05 Januari 2010

KORUPSI DAN PEMBUSUKAN KULTURAL


Berbagai tragedi datang silih berganti, kian menohok nurani penghuni bumi pertiwi. Di tengah gejolak negeri yang bertubi, para birokrat dan elit mempertontonkan pesta pora dalam gelimang korupsi. Korupsi demi kepentingan pribadi dan kroni-kroni, sering dikemas dalam proyek demokratisasi, dan kepentingan rakyat, kian menyakiti hati dan menjadi serpihan embrio pembusukan kultural. Ditambah lagi lemah teladan para pemimpin negeri untuk hidup bersahaja, senasib dengan rakya. Jurang sosial, miskin-kaya kian menganga.
Mengeliminasi pembusukan kultural dengan nasionalisme yang kuat seakan telah tamat. Kepercayaan masyarakat akan kinerja birokrat, kian terkikis. Menengok antisipasi model Barat, membangun nasionalisme, dilakukan elit borjuis, intelektual dan penguasa. Menurut Kurt Mills, Nasionalisme sebagai konsep moderen produk Barat, sejak lahirnya dokumen Peace of Westpahalia abad ke-17. Nasionalisme menjalar dari kelompok elite, hingga akar rumput. Menurut Eric Hobsbawm nasionalisme kalangan bawah bisa berkembang di mana-mana, sifatnya omnipresent, tidak pernah hilang, siap muncul kapan saja saat situasi memanggil.
Dalam situasi bangsa yang krisis ini, seharusnya menjadi momen bangkitnya nasionalisme yang hebat. Ironisnya, justru korupsi kian merambah di berbagai lini. Teori Gunung Es, kasus korupsi yang muncul kepermukaan hanya mampu menyeret beberapa gelintir koruptor ke hotel prodeo. Bongkahan perilaku korup di bawah permukaan sangat dahsyat, siap menghancurkan negeri ini. Ungkapan ” Power tend to corrupt”, bukan isapan jempol, nyata-nyata terjadi. Pendapat J.Kristiadi, kekuasaan mempunyai dua wajah yaitu mempesona sekaligus menakutkan. Mempesona karena kekuasaan itu menimbulkan nikmat luar biasa. Menakutkan karena kekuasaan mempunyai daya rusak dahsyat bila diselewengkan.
Korupsi - Latin : Corruptio - busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok . Menurut T I, : perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau kroni-kroni, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik. Korupsi dapat dipicu oleh aspek individu pelaku yang tamak, lemah moral, rendahnya penghasilan, kebutuhan hidup mendesak, gaya hidup konsumtif, malas serta ajaran agama yang kurang diterapkan. Sedangkan aspek organisasi, kurang keteladanan pimpinan, lemahnya akuntabilitas, dan pengendalian sistem manajemen.
Klittgaard ( 1998 ), menegaskan korupsi adalah penyimpangan dari tugas-tugas resmi jabatan negara, demi keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi, atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan. Pada jaman Yunani kuno, telah mengenal istilah corrupted mind ( Kian Gie, 2003), korupsi bukan melulu soal pencurian fulus, melainkan juga terkait dengan kebobrokan struktur mental yang menyebabkan degradasi moral.
Era Orde Baru, korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Bill Dalton dalam Darlis Darwis 1999, menyebutkan : “ Korupsi justru sudah dianggap sebagai cara hidup ( the way of life ) masyarakat Indonesia”. Celakanya, kemampuan mengatasi korupsi hanya berada di urutan ke -134. menurut hasil survei Transparancy International ( TI ) tahun 2006 terhadap 163 negara di dunia. Tingginya tingkat korupsi di Indonesia sudah mendapatkan komplain berbagai kalangan seperti Bank Dunia, komunitas bisnis Internasional, dan para ekonom liberal pasar bebas.
Korupsi merajalela telah membusukkan kultur, kian sulit diberantas tanpa kultur anti korupsi yang sehat. Sebelas modus korupsi yang dilansir Kompas/5/7/2008, meliputi pemberian bantuan; partisipasi; perjalanan; hubungan baik; perawatan kesehatan; kegiatan; apresiasi; pembuatan rancangan undang-undang; kegiatan kunjungan; untuk pemangku kepentingan; untuk uji kelayakan dan kepatutan; dan bantuan penempatan pegawai.
Menurut catatan Komunitas T I., modus korupsi yang mencakup; pemerasan pajak; manipulasi tanah; jalur cepat pembuatan KTP; SIM jalur cepat; Markup anggaran; Proses tender; dan penyelewengan penyelesaian perkara. Tengok saja institusi penegak hukum negeri ini betapa carut-marut, kian menambah litani keterpurukan. Sebagai penegak hukum telah membuat makin menipisnya kepercayaan masyarakat. Penyimpangan wewenang dan kekuasaan di sana-sini. ”Korban terbanyak dari praktik korupsi adalah rakyat miskin yang kian hari kian bertambah jumlahnya. Mereka yang tidak memberikan suap tak akan mendapatkan pelayanan yang baik”. ( kompas 7/12/2007 ).
Rapuhnya moralitas bangsa, sebagai dampak pembusukan kultural. Alasan klasik, kurangnya kesejahteraan. Dari waktu ke waktu kian menggerus kultur dan eksistensi negeri ini. Tren membangun partai, demi masuk jajaran elit birokrat, guna menggapai kursi kekuasaan. Ujung-ujungnya korupsi. Pembusukan kultural telah merasuk ke seluruh sumsum lini kehidupan.
Betapa amboradulnya elit birokrat, andil mengukir pembusukan kultural. Bertenggernya pelanggaran hak asasi, ketidakadilan, ketidakjujuran, arogansi kekuasaan, jual beli jabatan, suap dalam rekrutmen, dan pembinaan karier aparat. Yang dilansir Kompas 7 /12/ 2007, institusi polisi salah satu garda terdepan penegakan hukum, justru paling korup dibandingkan dengan 14 instansi publik lainnya.
Fenomena kebobrokan kultur elit, ditambah lambatnya mengatasi pembusukan kultural, sebagai ancaman terjadinya chaos bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai yang diwariskan oleh pendahulu bangsa sebagai nilai-nilai religius, gotong-royong, pelayanan kemanusiaan, keadilan sosial, persatuan, kemanusiaan, musyawarah serta keadilan sosial, telah luntur.
Kultur pelayanan, masyarakat dibuat jengah, ketika aparat pelindung rakyat, sewenang-menang menyerang kampus, bak kesetanan. Kultur toleransi serta merta dirobek oleh kekerasan, ketika FPI dengan beringas menyerbu AKKBB, dalam kasus Monas. Kasus serius, yang membuat pongah insan negeri yang tengah mereformasi diri. Kultur sosial dan gotong royong, punah ditelan individualisme. Kultur musyawarah demi mencapai mufakat terkikis habis dengan perilaku anarkhis. Kultur birokrasi yang melayani tergerus dengan arogansi dan kesewenang-wenangan aparat. Kultur demokrasi telah hancur dengan model otoriter. Pelayanan kemanusiaan telah kian dirongrong oleh kebrutalan aparat dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tak ada solusi lain yang efektif kecuali bangsa ini membangun komitmen, dalam momen 100 tahun kebangkitan Indonesia. Model teladan budaya hidup bersih oleh seluruh pemimpin negeri ini, harus diwujudkan secara konsisten, bukan slogan kemunafikan belaka. Semangat nasionalisme yang kuat sebagai pijakan. Mulai dari yang paling kecil dan diri sendiri, seluruh masyarakat harus siap berubah, dalam budaya jujur, adil, demokratis dan menegakkan hukum serta hak asasi manusia. Berorientasi kepada ideologi bangsa yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa, serta cita-cita mewujudkan masyarakat madani negeri ini. Semoga.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar