Impian mewujudkan masyarakat madani menjadi dambaan segenap warga negeri ini. Tak satupun yang luput, semua niscaya mengamini. Siapapun dan apapun latar belakangnya. Bahkan kelompok yang oleh kalangan dikategorikan preman. Dari tukang palak, pungli, pemeras tingkat RT hingga preman yang go public. Diyakini ketika lahir tak seorang pun pernah bercita-cita menjadi preman. Kondisi masyarakat menyebabkan tumbuhnya preman. Mulai masyarakat sakit hingga masyarakat yang berperilaku preman, mereka telah andil mengukir lahirnya premanisme di negeri berbudaya luhur. Bukan negeri preman.
Stigma preman, asal kata ’’freeman’’ yakni orang bebas, cenderung negatif, meresahkan masyarakat. Premanisme adalah aliran yang membenarkan praktek hidup gaya preman. Orang atau kelompok orang dengan bebasnya hidup tanpa mempedulikan aturan. Mendapatkan sesuatu dengan gratis. Mulai dari sekedar makan minum, fasilitas papan, sandang hingga biaya hidup layak. Dengan cara memeras, merampas hak orang lain. Menakut-nakuti melalui jasa keamanan illegal atau apa saja, sehingga pihak-pihak tertentu memberikan upeti bagi sang preman. Kata preman yang berarti perampok, penodong, dan pemeras dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Senafas dengan kinerja "oknum" yang memeras dengan memanfaatkan kekuasaannya di pelbagai jajaran birokrasi negeri ini. Peras-memeras mulai dari mengurus izin di berbagai lini kehidupan oleh aparat birokrat yang kian membuat ekonomi Indonesia terus melambat. Sehingga perilaku preman menjadi musuh masyarakat bersama aparat keamanan. Wajar bila kini menjadi pekerjaan rumahnya polisi. Untuk terus menggiatkan operasi pemberantasan premanisme di seluruh wilayah negeri ini. Memberantas premanisme tentu menjadi yang ditunggu-tunggu. Perlu dukungan semua lapisan masyarakat.
Bedanya preman kelas jalanan tumbuh subur karena ketimpangan sosial masyarakat, dan aparat bergaya preman. Sedangkan preman berdasi ditujukan bagi prilaku elit dan birokrat yang menggalang rakyat, dengan kedok jasa pelayanan. Sehingga rakyat yang kian tertindas menghadapi aparat birokrat sebagai preman-preman yang memeras rakyat. Premanisme terus berkembang subur, arogansi aparat yang bermental preman merajalela.
Seiring dengan reformasi, memberantas preman merupakan komitmen pemerintah demi mewujudkan rasa aman masyarakat. Sebagai cita-cita good governance di negeri beradab ini. Sayangnya negeri yang bergelimang dengan perilaku preman. Suburnya premanisme, sebagai dampak kemunafikan dan kian langkanya mental model elit negeri ini.
Siapapun warga negeri ini tahu bahwa negara belum mampu memberikan kesejahteraan aparatnya yang memadai. Celakanya sebagian elit penguasa mempertontonkan hidup berkelimpahan, di tengah-tengah kemiskinan yang kian menghimpit. Kondisi suburnya mental preman aparat. Demi kedok mencukupi kebutuhan operasional, mereka menggerogoti kekayaan negeri. Perilaku merampas harta Negara demi kepentingan pribadi atau kelompok, tampilan perilaku korup, preman berdasi. Aparat dan masyarakat korup, melahirkan generasi korup. Kian menyuburkan premanisme di negeri beradab. Sekali lagi negeri ini, bukan negeri preman. Preman berdasi jauh lebih berbahaya daripada preman jalanan, yang merampas recehan.
Perlu solusi yang tak melanggar hak asasi. Disadari negeri ini bukan negeri preman. Pemberantasan preman sejalan dengan kebijakan pemerintah. Memberantas preman berdasi, telah digetarkan oleh kiprah KPK. Demi komitmen ”bukan negeri preman”. Giliran seluruh aparat dan elit harus mereformasi diri mewujudkan bangsa yang berkarakter, menjunjung supremasi hukum. Bergelimangnya kalangan elit yang berdampak kemiskinan dan kesenjangan sosial maka premanisme akan semakin subur. Dampak lain adalah matinya karakter bangsa ini, akan menumbuhsuburkan premanisme.
Premanisme hanya merupakan ujung masalah, sedangkan akarnya adalah pemiskinan, pembodohan, pengangguran dan kesenjangan miskin-kaya yang kian menganga. Kembali lagi alasan klasik, bukan hal yang baru, kini hanya makin kompleks. Pemerintah kini disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat.
Pelbagai instansi di negeri ini dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang "premanisme", sebagian aparat, pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja. Tengok saja sejumlah loket pelayanan, seperti bagian informasi, yang sering kosong ditinggalkan petugas. Fenomena yang kian menambah litani keterpurukan bangsa ini. Karena kemunafikannya. Nyata-nyata negeri yang memiliki warisan budaya luhur, namun justru menampakkan premanisme terselubung.
Simak saja pengalaman mengurus peningkatan status hak atas tanah, menghabiskan waktu berbulan-bulan, dengan biaya puluhan juta rupiah dan berakhir dengan kekecewaan. Status tanah justru turun dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Aparat kerja santai, pulang cepat dan mempersulit urusan, adalah gambaran singkat kinerja pegawai bermental preman.
Di berbagai tempat masih terdapat keluhan para pelaku usaha. Dunia preman dan birokrasi di Indonesia hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas. Lihat saja kasus keluhan seorang pengusaha elektronik, mengeluarkan uang Rp 15 juta setelah didiskon dari tarif Rp. 25 juta, untuk mendapatkan dua lembar surat berkop sebuah kecamatan di ibukota negeri ini, di bagian bawahnya bertuliskan tidak dipungut biaya.
Kasus lain, pengelola mall di Jakarta, telah mengeluarkan uang Rp 1,6 miliar untuk membiayai aparat menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar yang menutup akses kompleks tersebut. Suasana sempat tertib untuk dua minggu saja. PKL dan parkir liar kembali tumpah ruah. Mereka telah membayar setoran kepada oknum aparat dan preman setempat. Terjadi kongkalingkong. "Para PKL membayar uang bulanan dan uang harian kepada oknum aparat. Lain lagi pengalaman investor asing yang harus menerima kenyataan pahit. Pemalakan di sana-sini guna mendapatkan ijin. Mereka terpaksa hengkang ke negeri orang.
Baru-baru ini semua menjadi indikasi preman berdasi merajalela. Setumpuk bukti mengarah keterlibatan Muspika tatas kasus premanisme yang berdampak pengrusakan proyek PLTU, di Banten. Aneh memang, secara institusi tidak ada penyimpangan, tetapi selalu ada oknum di hampir seluruh instansi pemerintah sebagai realita preman berdasi yang bergentayangan di seluruh lini kehidupan. Sebenarnya tidak hanya pungutan liar yang menghambat bangkitnya perekonomian, namun mental preman aparat.
Perangkat peraturan yang dibuat birokrasi di pusat dan daerah turut mempersulit pihak swasta dan berdampak terhadap tingginya harga yang harus dibayar konsumen serta mempersulit kesempatan kerja dan mengurangi kesejahteraan pekerja. Harus diakui, membuka diri bagi kritik, transformasi, dan meningkatkan kesejahteraan merupakan jawaban untuk mengubah citra birokrasi agar tidak lagi tumbuh sebagai sarang "preman berseragam".
Suburnya premanisme kian membelenggu. Operasi polisi di seluruh Indonesia terhadap para preman menghasilkan tangkapan yang mencengangkan. Dalam hitungan hari, tidak kurang dari 3.000 preman dari Sabang sampai Merauke diringkus. Sekitar 369 di antaranya ditahan karena memenuhi syarat sebagai pelaku tindak kejahatan. Angka-angka itu membenarkan sebuah fakta. Premanisme merebak dan sekaligus membelenggu hampir di semua sisi kehidupan.
Mereka, para preman, tidak saja memaksakan kehendak di jalan-jalan. Premanisme terjelma juga dalam bentuk yang lebih keren dengan istilah preman berdasi. Dari kalangan itu merebak praktik premanisme politik dan premanisme ekonomi. Di jalan-jalan para preman memeras dan merampas. Di pelabuhan mereka beraksi. Di atas bus kota mereka meneror dengan kedok sebagai penyanyi. Di persimpangan lampu lalu lintas segala bentuk premanisme mengancam. Baik dengan kapak merah maupun melalui para pengemis yang berpura-pura memelas. Sistem sosial kemasyarakatan terbangun dan mulai terbiasa dengan perampasan atas hak orang lain.
Tetapi diakui atau tidak, premanisme tumbuh dan berkembang justru karena pembiaran. Bahkan premanisme dipelihara karena dari sana mengalir rezeki. Sebagai salah satu faktor yang membangkrutkan perusahaan-perusahaan adalah perampasan oleh para preman jalanan hingga preman berdasi di berbagai lini. Fenomena gunung Es, telah menggetarkan yang ke permukaan hanyalah sedikit, yang dibawah permukaan jauh lebih dahsyat. Praktek aparat bermental preman yang jauh lebih brengsek daripada preman pemalak uang recehan.
Premanisme adalah akibat langsung dari kemiskinan dan pengangguran. Kalau angka pertumbuhan ekonomi tidak dicapai pada tingkat yang secara teoretis menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, maka akan memacu suburnya premanisme. Kemiskinan dan pengangguran entah kapan bisa dihapus. Namun, premanisme harus diperangi. Salah satu yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu angka pertumbuhan tinggi adalah penegakan hukum.
Solusinya para preman perlu dibina, khususnya dalam hal mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan masing-masing preman. Sebab, preman kelas bawah identik dengan perut sejengkal. Preman berdasi lebih sulit diberantas. Umumnya mereka sudah mapan di masyarakat dan punya kekuatan tersendiri. Bisa saja mereka menggunakan organisasi sosial dan pemuda dalam menjalankan aksi premanismenya.
Menarik benang merah uraian di atas, bahwa suburnya premanisme merupakan tantangan seluruh komponen bangsa. Negeri ini memprihatinkan bila terus diselimuti perilaku preman. Preman akan sulit diberantas tanpa komitmen kuat, mengubah citra aparat yang berkultur melayani. Memberikan solusi dengan menunjukkan model perilaku segenap pemimpin negeri ini, yang peduli membangun kesejahteraan negeri demi masyarakat madani. Kondisi masyarakat inilah yang akan bersama-sama membendung suburnya premanisme di negeri beradap, berbudaya luhur, bukan negeri yang diawaki preman berdasi dan preman jalanan. Semoga.
Stigma preman, asal kata ’’freeman’’ yakni orang bebas, cenderung negatif, meresahkan masyarakat. Premanisme adalah aliran yang membenarkan praktek hidup gaya preman. Orang atau kelompok orang dengan bebasnya hidup tanpa mempedulikan aturan. Mendapatkan sesuatu dengan gratis. Mulai dari sekedar makan minum, fasilitas papan, sandang hingga biaya hidup layak. Dengan cara memeras, merampas hak orang lain. Menakut-nakuti melalui jasa keamanan illegal atau apa saja, sehingga pihak-pihak tertentu memberikan upeti bagi sang preman. Kata preman yang berarti perampok, penodong, dan pemeras dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Senafas dengan kinerja "oknum" yang memeras dengan memanfaatkan kekuasaannya di pelbagai jajaran birokrasi negeri ini. Peras-memeras mulai dari mengurus izin di berbagai lini kehidupan oleh aparat birokrat yang kian membuat ekonomi Indonesia terus melambat. Sehingga perilaku preman menjadi musuh masyarakat bersama aparat keamanan. Wajar bila kini menjadi pekerjaan rumahnya polisi. Untuk terus menggiatkan operasi pemberantasan premanisme di seluruh wilayah negeri ini. Memberantas premanisme tentu menjadi yang ditunggu-tunggu. Perlu dukungan semua lapisan masyarakat.
Bedanya preman kelas jalanan tumbuh subur karena ketimpangan sosial masyarakat, dan aparat bergaya preman. Sedangkan preman berdasi ditujukan bagi prilaku elit dan birokrat yang menggalang rakyat, dengan kedok jasa pelayanan. Sehingga rakyat yang kian tertindas menghadapi aparat birokrat sebagai preman-preman yang memeras rakyat. Premanisme terus berkembang subur, arogansi aparat yang bermental preman merajalela.
Seiring dengan reformasi, memberantas preman merupakan komitmen pemerintah demi mewujudkan rasa aman masyarakat. Sebagai cita-cita good governance di negeri beradab ini. Sayangnya negeri yang bergelimang dengan perilaku preman. Suburnya premanisme, sebagai dampak kemunafikan dan kian langkanya mental model elit negeri ini.
Siapapun warga negeri ini tahu bahwa negara belum mampu memberikan kesejahteraan aparatnya yang memadai. Celakanya sebagian elit penguasa mempertontonkan hidup berkelimpahan, di tengah-tengah kemiskinan yang kian menghimpit. Kondisi suburnya mental preman aparat. Demi kedok mencukupi kebutuhan operasional, mereka menggerogoti kekayaan negeri. Perilaku merampas harta Negara demi kepentingan pribadi atau kelompok, tampilan perilaku korup, preman berdasi. Aparat dan masyarakat korup, melahirkan generasi korup. Kian menyuburkan premanisme di negeri beradab. Sekali lagi negeri ini, bukan negeri preman. Preman berdasi jauh lebih berbahaya daripada preman jalanan, yang merampas recehan.
Perlu solusi yang tak melanggar hak asasi. Disadari negeri ini bukan negeri preman. Pemberantasan preman sejalan dengan kebijakan pemerintah. Memberantas preman berdasi, telah digetarkan oleh kiprah KPK. Demi komitmen ”bukan negeri preman”. Giliran seluruh aparat dan elit harus mereformasi diri mewujudkan bangsa yang berkarakter, menjunjung supremasi hukum. Bergelimangnya kalangan elit yang berdampak kemiskinan dan kesenjangan sosial maka premanisme akan semakin subur. Dampak lain adalah matinya karakter bangsa ini, akan menumbuhsuburkan premanisme.
Premanisme hanya merupakan ujung masalah, sedangkan akarnya adalah pemiskinan, pembodohan, pengangguran dan kesenjangan miskin-kaya yang kian menganga. Kembali lagi alasan klasik, bukan hal yang baru, kini hanya makin kompleks. Pemerintah kini disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat.
Pelbagai instansi di negeri ini dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang "premanisme", sebagian aparat, pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja. Tengok saja sejumlah loket pelayanan, seperti bagian informasi, yang sering kosong ditinggalkan petugas. Fenomena yang kian menambah litani keterpurukan bangsa ini. Karena kemunafikannya. Nyata-nyata negeri yang memiliki warisan budaya luhur, namun justru menampakkan premanisme terselubung.
Simak saja pengalaman mengurus peningkatan status hak atas tanah, menghabiskan waktu berbulan-bulan, dengan biaya puluhan juta rupiah dan berakhir dengan kekecewaan. Status tanah justru turun dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Aparat kerja santai, pulang cepat dan mempersulit urusan, adalah gambaran singkat kinerja pegawai bermental preman.
Di berbagai tempat masih terdapat keluhan para pelaku usaha. Dunia preman dan birokrasi di Indonesia hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas. Lihat saja kasus keluhan seorang pengusaha elektronik, mengeluarkan uang Rp 15 juta setelah didiskon dari tarif Rp. 25 juta, untuk mendapatkan dua lembar surat berkop sebuah kecamatan di ibukota negeri ini, di bagian bawahnya bertuliskan tidak dipungut biaya.
Kasus lain, pengelola mall di Jakarta, telah mengeluarkan uang Rp 1,6 miliar untuk membiayai aparat menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar yang menutup akses kompleks tersebut. Suasana sempat tertib untuk dua minggu saja. PKL dan parkir liar kembali tumpah ruah. Mereka telah membayar setoran kepada oknum aparat dan preman setempat. Terjadi kongkalingkong. "Para PKL membayar uang bulanan dan uang harian kepada oknum aparat. Lain lagi pengalaman investor asing yang harus menerima kenyataan pahit. Pemalakan di sana-sini guna mendapatkan ijin. Mereka terpaksa hengkang ke negeri orang.
Baru-baru ini semua menjadi indikasi preman berdasi merajalela. Setumpuk bukti mengarah keterlibatan Muspika tatas kasus premanisme yang berdampak pengrusakan proyek PLTU, di Banten. Aneh memang, secara institusi tidak ada penyimpangan, tetapi selalu ada oknum di hampir seluruh instansi pemerintah sebagai realita preman berdasi yang bergentayangan di seluruh lini kehidupan. Sebenarnya tidak hanya pungutan liar yang menghambat bangkitnya perekonomian, namun mental preman aparat.
Perangkat peraturan yang dibuat birokrasi di pusat dan daerah turut mempersulit pihak swasta dan berdampak terhadap tingginya harga yang harus dibayar konsumen serta mempersulit kesempatan kerja dan mengurangi kesejahteraan pekerja. Harus diakui, membuka diri bagi kritik, transformasi, dan meningkatkan kesejahteraan merupakan jawaban untuk mengubah citra birokrasi agar tidak lagi tumbuh sebagai sarang "preman berseragam".
Suburnya premanisme kian membelenggu. Operasi polisi di seluruh Indonesia terhadap para preman menghasilkan tangkapan yang mencengangkan. Dalam hitungan hari, tidak kurang dari 3.000 preman dari Sabang sampai Merauke diringkus. Sekitar 369 di antaranya ditahan karena memenuhi syarat sebagai pelaku tindak kejahatan. Angka-angka itu membenarkan sebuah fakta. Premanisme merebak dan sekaligus membelenggu hampir di semua sisi kehidupan.
Mereka, para preman, tidak saja memaksakan kehendak di jalan-jalan. Premanisme terjelma juga dalam bentuk yang lebih keren dengan istilah preman berdasi. Dari kalangan itu merebak praktik premanisme politik dan premanisme ekonomi. Di jalan-jalan para preman memeras dan merampas. Di pelabuhan mereka beraksi. Di atas bus kota mereka meneror dengan kedok sebagai penyanyi. Di persimpangan lampu lalu lintas segala bentuk premanisme mengancam. Baik dengan kapak merah maupun melalui para pengemis yang berpura-pura memelas. Sistem sosial kemasyarakatan terbangun dan mulai terbiasa dengan perampasan atas hak orang lain.
Tetapi diakui atau tidak, premanisme tumbuh dan berkembang justru karena pembiaran. Bahkan premanisme dipelihara karena dari sana mengalir rezeki. Sebagai salah satu faktor yang membangkrutkan perusahaan-perusahaan adalah perampasan oleh para preman jalanan hingga preman berdasi di berbagai lini. Fenomena gunung Es, telah menggetarkan yang ke permukaan hanyalah sedikit, yang dibawah permukaan jauh lebih dahsyat. Praktek aparat bermental preman yang jauh lebih brengsek daripada preman pemalak uang recehan.
Premanisme adalah akibat langsung dari kemiskinan dan pengangguran. Kalau angka pertumbuhan ekonomi tidak dicapai pada tingkat yang secara teoretis menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, maka akan memacu suburnya premanisme. Kemiskinan dan pengangguran entah kapan bisa dihapus. Namun, premanisme harus diperangi. Salah satu yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu angka pertumbuhan tinggi adalah penegakan hukum.
Solusinya para preman perlu dibina, khususnya dalam hal mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan masing-masing preman. Sebab, preman kelas bawah identik dengan perut sejengkal. Preman berdasi lebih sulit diberantas. Umumnya mereka sudah mapan di masyarakat dan punya kekuatan tersendiri. Bisa saja mereka menggunakan organisasi sosial dan pemuda dalam menjalankan aksi premanismenya.
Menarik benang merah uraian di atas, bahwa suburnya premanisme merupakan tantangan seluruh komponen bangsa. Negeri ini memprihatinkan bila terus diselimuti perilaku preman. Preman akan sulit diberantas tanpa komitmen kuat, mengubah citra aparat yang berkultur melayani. Memberikan solusi dengan menunjukkan model perilaku segenap pemimpin negeri ini, yang peduli membangun kesejahteraan negeri demi masyarakat madani. Kondisi masyarakat inilah yang akan bersama-sama membendung suburnya premanisme di negeri beradap, berbudaya luhur, bukan negeri yang diawaki preman berdasi dan preman jalanan. Semoga.